19 Desember 2009

Greeting

Great to Nda.

Dari nama yang Savana buat untuknya. Nama karena kelucuan dan badan Nda yang besar seperti Panda.

Ketika Kla Project mengatakan bahwa “kau nyanyikan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan”. Bagi Savana “kau mainkan untukku sebuah kata tentang kesetiaan”. Awal yang tak terlupakan bagi Savana, duduk di bawah temaram lampu sore yang sirat di pelupuk kehidupan malam. Baginya sore itu adalah sejarah. Bagi orang lain, sore itu adalah terang seperti biasanya kota yang panas.

Pertama kalinya ia menerima ajakan Nda, seorang yang tengah dekat dan mencoba mendekatinya. Semua berawal dari stasiun di salah satu kota terpanas di Indonesia. Savana sendiri yang mengakui dari situlah akar perjalanan panjangnya akan menarik garis lurus pada semburan kata-kata yang tak pernah dikiaskan. Lugas dan serius. Sore itu Nda melakukan banyak kesaltingan. 27 Februari 2009. Nda tak seperti orang yang Savana kenal. Sangat…dan sangat bahagia. Itu yang Savana rasakan meski ia sedikit menafikan bahwa kebahagiaan itu karenanya.

Nda mulai berawal dari kata komitmen dan pilihan yang Nda jatuhkan pada Savana. Tak ada kata 'iya' ataupun 'tidak' saat itu. Savana hanya penasaran pada setiap tutur yang terucap serius, lugas, dan apa adanya. Kesederhanaan yang Nda perlihatkan adalah keyakinannya tentang satu hal, bahwa biarkan kata hatinya yang bicara mengikuti suara angin sore bergelayut menjelang maghrib.

Savana salut. Hikmat mendengarkan setiap celoteh Nda yang memang porsi bicaranya lebih lebar. Dibandingkan Savana yang lebih suka diam dalam keheningan. Hingga suara adzan menghentikan mereka untuk menghadap pada Rabb-Nya. Sebelum berpamitan Nda memberikan sesuatu yang manis pada Savana. Ia hanya mengingat Savana seorang ketika minta diantarkan ke stasiun. Manisan kecil, lucu, dan berfilosofi yang Nda berikan untuk Savana. Entah simbolisasi perhatian yang Nda persembahkan untuk Savana? Entah pula karena Nda sekedar membelikan Savana buah tangan dari perjalanannya. Bagi Savana, Nda telah berusaha memberikan hatinya dengan caranya sendiri. “Natural”, pikir Savana sore itu.

Bukanlah dari bentuk Savana memandangnya, bukan pula dari kuantitas pula. Namun, pada filosofi yang Nda katakan hanya untuk Savana seorang. Ia hanya membeli dua manisan. Satu untuk ibunya dan wanita yang sedang di depan matanya. Nda hanya ingin memiliki dua wanita terhebat dalam hidupnya. Ibu yang cantik jelita dan mulia hati, yang sedang menunggunya di rumah. Sore itu juga Nda berharap banyak pada Savana untuk mengisi ruang terpenting dalam hidup Nda. Manisan itu yang membuat Savana luluh meski tak sempat mengucapkan kepastian yang Nda tunggu. Tapi, Nda sepertinya tahu kalau Savana malu-malu mengakuinya. Dan Nda...lebih bisa dikatakan ke-GR-an saat itu. Dasar Nda! Terlalu PD memang. Tapi itulah yang mampu membawa Nda memasuki kehidupan Savana yang mungkin bagi orang lain adalah hutan belantara. Terlalu gelap dan rimbun. Rumit dan sulit diprediksi.

Savana pernah kecewa dengan alur hidup yang membawanya belajar menempa hidup ini lebih keras. Savana banyak menaruh paranoidisme pada kaum adam yang dianggapnya tak pernah serius. Savana pernah merasakan sakitnya di belenggu dalam ketidakadilan, dalam sebuah perasaan kehilangan seseorang terpenting dalam hidupnya yang seharusnya turut membimbingnya hingga dewasa. Sosok yang sampai sekarang Savana hormati tetapi tak pernah Savana rasakan hangatnya bimbingan beliau. At least, Savana merindukan sosok ayah, yang jiwanya menghilang sejak 13 tahun silam, meski raga tetaplah ada sebagai seorang ayah yang Savana kagumi.

19 tahun menghirup udara bebas, tak pernah Savana mengirimi kakaknya email yang berada nun jauh di sana dan mengatakan, baru saja ia diajak ‘serius’ oleh seorang Nda, yang baginya memberikan nuansa baru dalam hidupnya. Menggebu dan penuh keraguan bahwa perasaan senangnya akan menjadi boomerang baginya. Tepat kiranya, kakaknya hanya berpesan, “Fokus saja kuliah, masalah itu setelah lulus”.

Plazzz!! Savana terpuruk dalam gelapnya ruang ber-AC tempatnya berinteraksi dengan kakak yang biasa ia sebut ‘Sista’. Orang inilah orang paling di dengar oleh Savana tetapi memberikan pendapat lain tentang kehidupannya. Ia merasa telah tumbuh dewasa tetapi kenapa pilihannya tak didengar?

Savana tak putus asa dan terus berjuang hingga 6 bulan berselang. Ia tetap mempertahankan Nda dan hanya sesekali menceritakannya pada keluarganya. Hingga pada penghujung kuliah akhir semester, Savana menemukan bukti otentik keseriusannya untuk memilih next life story bagi seorang Savana dengan segala konsekuensinya. Semester ini, Savana dianugrahi IP tinggi yang membuktikan bahwa pilihannya tak membuat kuliahnya berantakan. Hingga akhirnya Savana mengizinkan Nda mengunjungi rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Dari hari yang suci dan pertemuan yang Nda anggap sebuah momentum besar untuk bisa memasuki pintu gerbang menuju kehidupan yang Nda idam-idamkan bersama Savana. Dari bilik kecil yang hanya ada Nda, Savana dan kedua orang tuanya.

Nda mati-matian berdandan untuk memperlihatkan kesan baik di depan orang tua Savana. Bersikap manis yang membuat Savana geli sendiri tertawa di batin. Nda lucu jika sedang serius. Bicara sangat sopan dan tertata di depan orang tua Savana. Sekali lagi Savana ingin tertawa keras melihat Nda yang berjuang mati-matian mengambil hati orang tua Savana. “Gampang-gampang-sulit”, kata Nda. Yang paling penting kesan pertama. Alhasil, Nda berhasil membuat ayah Savana betah menemani Nda.

Pertemuan itu bukan jawaban atas harapan terbesar Nda untuk bisa mendampingi Savana dalam keseriusan hidup yang lebih lanjut ke depan. Setidaknya Nda mendapat satu gong awal untuk bisa membawa Savana dalam hidupnya. “Nda harus lulus kuliah dan kerja”, begitu ayah Savana berharap pada Nda. Bagi Nda itu adalah janji dan harus ia tepati. Nda akan kembali ke tempat Savana dan orang tuanya dengan ijazah. Tapi dasar Nda! Nda curang ingin tetap bisa bertemu ayah Savana tanpa pelunasan janji itu. Meski hanya sebatas guyonan sampai sekarang Nda tak pernah benar-benar melakukannya. Hal utama penghambatnya adalah ‘ke-galak-an’ Savana. Itulah yang menjadikan candu bagi Nda, Savana yang galak!

Savana tak berharap hubungan ini terlalu lama dalam tahap yang tak pernah Savana selami kecuali dengan Nda. Savana ingin segera menyudahi ketidakpastian dengan harapan baru. Namun, antara realita dan aturan normative yang Savana ketahui selama merentas ilmu. Di ujung malam yang tak bergeming, Savana tersujud dalam harap. Panjang dan hikmat…. Rabb..mudahkanlah agar Nda segera memenuhi janjinya. Tess! Pada tetesan akhir Savana merebah dalam kerinduan terbesarnya untuk bisa mendampingi Nda dalam susah dan bahagia, dalam deru perjuangan hidup Nda, dan setiap jejak Nda yang setapak perlahan menuju tempat terindah dari segalanya yang indah.

21 Oktober 2009

NO MORE

Tak seperti dulu lagi...


Masih ingatkah saat pertama dulu menginjakkan kaki di tempat ini?

Masih.

Apa yang kau ingat?

Tawa anak-anak.

Suara ribut kepala tim.

Bukan. Bukan.

Ada lagi yang lebih ku ingat.

Bernyanyi bersama anak-anak di bilik sempit ukuran 3x3.


Tiga tahun roh kebersamaan yang kurasakan di sini. Kini sedikit demi sedikit memudar. Intervensi dari kepentingan tak rasional. Non transparansi public. Atau minimal keterbukaan kedua belah pihak. Non sense!

Kondisi yang semakin krusial. Permasalahan yang tak pernah kami harapkan. Semua berimbas pada anak-anak yang masih ingin belajar. Masih menanyakan kabar kakak tentornya. Menginginkan nyanyian bersama. Belajar dengan keterbatasan tetapi berkah melimpah. Semuanya…hampir pudar.


Kini…

Bersisakan perselisihan. Perbincangan para kaum bapak-bapak di malam hari. Di pojokan hek. Satu sisi menyalahkan si A. Satu sisi lainnya memberikan pembenaran.


Dari pojokan hek, udara malam mengantarkan kami pada perbincangan awal. Pertama kali yang saya dengar….

Tempat ini akan dibubarkan???

Ada satu hal yang belum dibereskan.

Atau memang sudah tidak beres dari awal.


Aku orang kesekian yang menyayangkan kondisi ini. Menerawang jauh pada wajah tak berdosa anak-anak. Menerawang jauh pada pendiri-pendiri tempat ini. Orang-orang yang pernah singgah di dalamnya. Dari beliau yang mengawali hingga kini berujung pada kami. Dengan ending yang tak diharapkan. Pernah bersama mereka, tetapi kini dipaksa melepaskan. Seharusnya tak seperti ini, kawan.


Tolong! Pikirkan lagi……

Bagaimana dengan anak-anak?

Bagaimana dengan keinginan mereka untuk belajar?

Bagaimana jika mereka kesulitan dengan PR mereka?

Bagaimana pula….saya menjawab pertanyaan ini?

14 Oktober 2009

LONG TIME NO SEE...

Pernah ingat postingan saya sebelumnya? Masa demisioner. Kini datang lagi di tahun kedua saya di sini. Beda, pasti! Ada yang sedikit demi sedikit menghilang, pasti! Ada goyangan sedikit dari sudut isu-isu politik, pasti! Dan yang pasti ada banyak partai yang menyelimuti dunia pepolitikan kampus. Di FB, pastinya bertebar menyemarak.

Heff! Banyak hal saya belajar. Banyak momen saya lewati bersama kenangan yang entah tersimpan dimana. Banyak orang saya kenal, luar biasa mereka. Tapi tidak banyak kesempatan saya berada di sini. Kalau saya pernah berdiskusi di sebuah tempat sejuk dengan salah seorang teman yang selalu bersemangat dan selalu mengingatkan saya untuk bersemangat, apakah ini saatnya vakum atau justru pensiun dari dunia yang telah turut membersamai saya selama ini.

Upz! Satu hal saja. Tempat itu tidak akan pernah saya lupakan. Pembelajaran. Diskusi. Rapat. Dan jarkoman di sudut sepi. Atau pembentukan panitia dadakan. Semuanya saya alami di sini. Dan tak akan pernah terlupakan.

Dua tahun yang lalu saya menjawab lantang setiap ada yang bertanya, “Angkatan berapa de?”. Karena dulu angkatan 2007 paling muda dan lugu (hweeee). Tapi kini, tuntutan yang lebih urgent adalah saatnya memberi contoh buat adik-adik. Di sini susahnya bagi saya.

Dunia ini mengasyikan. Sama seperti nge-blog. Dunia tempat saya belajar memahami orang lain dengan karakternya. Dunia politik yang bisa menjadi panorama kehidupan sebenarnya. Di sini lama pula saya tak hidup seperti dua tahun yang lalu. Dengan semangat yang meledak. Sama halnya dengan lamanya saya tak menulis, karena hang dalam sekejap. Dan mati kutu dalam seketika. Dari tulisan inipun saya terlihat terburu-buru karena spontan saja ingin menulis. Berniat posting malah lupa filenya saya simpen dimana?

Hefff!!!

Yah, hidup akan terus berputar teman! Tergantung kita meletakkan otak kita dimana?

01 Juli 2009

Who Knows???

Dia tak lagi dengan senyumnya. Dia tak lagi dengan teman yang selalu disampingya. Dia hanya yakin Tuhan lah yang masih tetap bersamanya. Melewati koridor sore di pesisir jalanan ramai yang tak membuatnya berpengaruh. Tetap saja sepi. Sambil menikmati suara mellow-tegas dari Dian Sastro jaman AADC bergemim di pusaran movie anak remaja.


Dia melewati kerumunan yang tak pernah dianggapnya ramai. Dia bersama lawakan orang disekitar kebanyolannya yang tak pernah dianggapnya riang. Dia memiliki dunianya sendiri. Dia hanya bisa menepuk pundak teman disampingnya sambil menangis dan berkata. “Aku merasa ditinggal.”


Dia tetap pada prinsipnya tetapi telah dianggap melukai orang yang disampingnya. Dia tetap pada kemandiriannya tetapi telah menganggap orang disekitarnya tak berarti. Dia ingin diamnya dalam kabut tetapi membuat orang lain bimbang dengan sisi membisu yang orang lain tak pernah berani mengusiknya.


Dia adalah air dikedalaman yang ingin bergerak cepat tanpa terlihat dari riaknya. Dia adalah udara yang ingin berhembus menghangatkan orang-orang disekelilingnya tanpa terlihat. Dia adalah awan yang meneduhi cinta dengan senyumnya dari kejauhan tanpa diketahui.


Dia punya sisi seperti ini yang tak pernah dimengerti olehnya. Dimengerti tetapi tak bisa diterimanya. Diterima tetapi tak bisa dianggap sesuatu yang memang dirinya sendiri. Bahwa ia benar-benar menikmati sisi diamnya. Menikmati setiap helai kerinduan yang tak pernah ia ungkap. Karena dia berkata pada malam, “Sampaikan saja! Aku memperhatikannya selalu dari hati tanpa bicara”.


Dia hanya sekali bicara tetapi menjadikannya komitmen terkuat. Namun, orang butuh pengakuan lebih dari sekali dalam kata yang terucap. Dia hanya sekali bicara tetapi menjadikannya sebuah kemantapan hati yang tulus. Namun, terkadang orang butuh pembuktian lebih dengan banyak bicara. Dia hanya ingin memahami orang lain dengan diamnya. Dia adalah air yang bersembunyi di dasarnya lautan.


Pernah kah orang memahami karakter seperti dia? orang seperti apa yang bisa memahami dia? menerima dia apa adanya?

23 Juni 2009

Humanistik dari Saya

Psikologi humanistik, baru saja saya ujian makul tersebut. Awalnya saya merasa makul ini lebih susah dimengerti daripada filsafat. Dibaca bukunya, belum ada yang nyantol. Memang saya membaca jauh hari pertama kuliah dulu. Hehe, kini, setelah didesak mau ga mau harus memahami humanistic, saya merasa tertarik. Merasa bahwa didalamnya terlihat sisi lain dalam menyikapi permasalahan.


Uniknya, dunia memang berputar. Kadang susah, kadang bahagia. Melalui humanistic inilah saya mencoba menyelami arti penderitaan. Bahwa apa yang diperlukan psikolog, adalah memahami kliennya (orang yang mengadu padanya). Harus bisa memberikan advice yang membangkitkan dan tepat guna buat klien.


Saya ambil kasus saja tentang telaah humanistic. Humanistic membantu klien dengan paradigmanya seperti ini: keputusasaan dan penderitaan memang kerap terjadi pada diri manusia. Manusia akan menyadari bahwa menderita merupakan sesuatu yang manusiawi dan layak, suatu pencapaian dan prestasi ketimabng suatu gejala neurotis belaka. Jadi, bukan judge psikolog yang dikedepankan disini. Namun, membuka lebar pencarian makan hidup bagi klien. Bahwa ia lupa, untuk apa ia hidup. Memaknai hidup atas dirinya di luar segala hal yang menjadi masalahnya adalah hal terberat.


intinya, hidup ini bukan hidup tanpa masalah dan stress. kalau g ada masalah dan stress kerjaan kita apaan dunk?? ya, para psikolog inilah yang sudah sepantasnya membantu di lini manusia yang satu ini.

Belajar Harus Nekad!

The day after tomorrow. Selalu ada hari esok untuk siang dan malam yang tak pernah diundang tapi selalu menjadi penghias kotakan kehidupan manusia. Siang yang bersyarat akan makna hari ini. Banyak moment yang terjadi. Satu moment saja, saya kira yang paling menarik siang ini. Tentang teman saya. Benar, rasanya ada istilah “Belajar Harus Nekad!” Benarkah kenekadan yang mendasari keberhasilan teman saya belajar mengendarai sepeda motor. Padahal secara kronologis, semua berawal dari pemaksaan. Teman saya kita paksa belajar naik motor dengan pengawalan ketat dari kita, notabenenya teman yang bertanggungjawab jika ia kenapa-napa. Mulai dari pintu gerbang hukum – perpus pusat – hingga porsima. Tidak sekedar melewati perjalanan yang menegangkan bagi dia. Ada usaha – kerja keras – hingga perlawanan besar melawan rasa takut.


Sekarang kita telaah secara psikologis, bagaimana orang melawan rasa takut. Perasaan takut bisa mencapai pada taraf diatasnya, yang sering disebut dengan fobia. Fobia naik motor, apakah ada?


Permasalahan di atas dapat dikaitkan dengan sisi alam bawah sadarnya. Bagaimana teman saya mentransfer rasa takut dengan kekuatan yang bisa dibilang “nekad”. Jadi, kekuatan yang menolong dia hingga ia berhasil adalah “Kenekadan”. Takut itu, permainan pikiran. “Takut” itu ada karena pikiran yang mengundang. Terakumulasi di dalam otak dan mengendap menjadi file-file di bawah sadar. Hingga ada stimulus yang merangsang rasa takut untuk muncul kembali, maka akan tampil ketakutan-ketakutan yang lebih besar.


Jadi, konteks “Belajar Harus NEkad!” saya setuju. Karena bukti realnya sudah dilakukan oleh teman saya. Saat akan melaju, ia hanya berujar, “Nekad!”. Saat ia mulai berjalan dan hampir jatuh, lalu sempat membuatnya hampir putus asa, maka sekali lagi ia membatin, “Nekad aja!”. Setelah dua meter melaju dan sekali lagi hampir jatuh, ia hanya mengandalkan jimat yang satu itu, “Nekad! Dan nekad!”. Setelah itu, ia lancar saja mengendarai sepeda motornya meski stug masih pada taraf gigi dua.


Sekarang, bagaimana menurut Anda?

Belajar itu….harus bagaimana??

Kita lihat pendapat orang-orang tentang belajar itu harus bagaimana? Inilah kata teman-teman saya di kampus kehidupan, tempatnya kepluralan manusia ada di dalamnya.


Sofi/FMIPA : Belajar itu harus rajin, serius.


Anang/FT : Belajar itu harus cerdas. Cerdas yang konteksnya dalam segala hal.

Gunawan/FT : Belajar itu harus santai. Berada di tempat sepi dan harus ada

visualisasinya, baik berbentuk tulisan ataupun gambar.


Aziz/FT : Belajar itu harus tau apa yang dipelajari. Belajar itu harus nyaman.

Belajar itu proses.


Resti/FKIP : Belajar itu harus dipaksa. Dengan dipaksa akan muncul motivasi untuk

tetap bertahan dalam kondisi sedang “belajar”.


Wachid/FT : Belajar itu harus ada “hal” yang dipelajari. Istilahnya “Belajar sambil

belajar”. Dalam artian harus langsung diaplikasikan. Menurutnya,

belajar tanpa aplikasi berarti parameter keberhasilannya tidak bisa

dikatakan valid. Makanya dia tipikal orang yang setuju dengan konsep,

habis belajar langsung ujian.


Hari/FMIPA : Belajar itu harus teratur, dalam kondisi fresh, sungguh-sungguh.


Charla/FK : Belajar itu menangis. Berarti perjuangan dan berkorban.


Dias/FK : Belajar adalah aplikasi manfaat otak, ketika kita tidak bisa membiarkan

otak begitu saja berhenti bekerja. Karena sebenarnya, otak itu memiliki

space yang sangat luas dan harus dipenuhi oleh hal-hal yang senantiasa

bermanfaat.


Karina/FK : Belajar tidak harus direncanakan, karena setiap langkah kehidupan merupakan proses pembelajaran.


Tya/FKIP : belajar itu harus memberikan manfaat, dari yang tidak bisa menhjadi bisa dan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Belajar itu harus berorientasi pada proses bukan pada hasil. Teruslah belajar karena belajar tak pernah mengenal kata akhir.


Putri/FE : belajar merupakan proses memahami sesuatu dan melatih seaseorang menjadi dewasa.


Fadhila/FK : belajar adalah pembiasaan.

so, bwt kalian, apa itu....yang namanya "belajar"???

26 Mei 2009

Tuhan.....

saya mencoba menulis kembali di sini...
dunia yang lama saya tinggalkan karena tugas kampus se-abrek, karena waktu memonopoli saya, dan karena......

Tuhan...bantu saya dengan kondisi saya yang seadanya ini...
Saya hanya meminta celah sedikit saja, untuk benar2 free...
tanpa memikirkan tugas kuliah...
tuntutan orang tua...

tiga hari ini saya sakit, dan mudah2an itu bisa menjadi penawar dosa saya pada-Mu
(lagu Edcoustik)

Tuhan...aku pada-Mu...
heffh!!
tapi........
dias tetap ingin jadi makhluk yang semangat!!!!

20 April 2009

Greeny


Aku selalu merasa nyaman. Nyaman melihat sisi kanan-kiriku hijau membentang luas. Sawah! S-A-W-A-H……

Hanya sepenggal kata tapi bisa membuatku ingin tertidur pulas. Menikmati semilirnya angin sepoi di pagi hari-sore hari. Terasa begitu menyejukkan.

Belakangan ini saya mencari jalur-jalur panjang mengelilingi Solo-Karanganyar-Sukoharjo. Melewati jalur-jalur naturalistik. Dihiasi nuansa roman. Dan kebersamaan.

Pernah suatu hari, kami melewati jalur yang tak pernah kami tentukan tujuannya. Jadi, tujuan kami adalah mencari. Apa yang dicari? Itulah tujuan kami melakukan tour ini. Melelahkan! Dan kami tak pernah tahu kapan akan berakhir. Atau dimana kami ingin mengakhirinya. Jalanan terasa panjang. Berbelok sedikit. Menjurang terjal. Ada kelokan tajam yang membahayakan. Ada jalan lurus yang tak berlubang sedikitpun. Semuanya….itulah kehidupan.

Dalam perjalanan itu saya menganalogikan, seperti kehidupan. Ada gagal-sukses-bahagia-sedih-bahkan menangis pedih-perjuangan-bahkan keringat darah-atau seonggok daging yang tak berguna sama sekali bagi orang lain. Dimanakah saya berperan? Sudah pantaskah saya dikatakan berperan? Menjadi manusia kah?

Ternyata…saya pahami betul perjalanan hari itu. Saya renungi. Dan sungguh…berjalan tanpa tujuan itu melelahkan! Meski disamping kita di tunggui. Meski ditemani. Meski ada perasaan nyaman. Tapi kita tak pernah tahu bahwa apa yang bisa menjadi titik pusat arah kita berjalan. Kita tak pernah melihat apa yang menjadi cita-cita kita? Bahkan kita tak pernah bisa berkesempatan mengantisipasi tiap celah yang bisa saja membuat jatuh, terpeleset. Dan semua berakhir hanya pada satu kata….L-E-L-A-H..

Inilah hidup…. Banyak sisi yang bisa menjadikan kita lebih dewasa. Tapi menurut saya, menemukan tujuan hidup itu lah….proses kedewasaan sesungguhnya….

-semoga tujuan hidup saya mengakar dan berujung pada Rabb, Pencipta Alam….Allah SWT-

04 April 2009

Who's Wrong???

Lucu…..saya mendengar curhatan sepupu laki-laki saya.

Sore ini, 17.26 serambi menunggu adzan maghrib, sayup-sayup suara Katon dengan Menjemput Impian dilanjut dengan nyanyian Yogyakartanya, saya mencuri waktu dengan menuliskan tentangnya. Padahal sebelumnya saya sedang menyelesaikan tugas mid semester saya, kajian mengenai psikologi fenomenologi. Namun, feel dari lagu yang saya dengar berasa banget karena memang sekarang saya benar-benar berada di Yogyakarta. Ditambah lagi mendengarkan sentilan menggelitik dari sepupu saya itu. Membuat saya ingin beralih tema menulis pada layar di hadapan saya ini.


Dia memang tipikal pria gila yang pernah saya temui. Gokil, kocak, tapi menyenangkan diajak ngobrol. Dialah salah satu partner diskusi saya ketika di Jogja. Gayanya nyentrik, omongannya nglantur dan pintar memainkan rayuan. Ngakunya, ga bisa ngomong kalau berhadapan dengan wanita. Tapi sekalinya ngobrol dan dia tertarik, kena deh si wanita oleh rayuannya. Sampai yang tidak habis saya pikir, dia beruntung mendapat calon yang notabenenya wanita lembut yang keibuan. Berbeda dengan calonnya yang sebelumnya, suka dugem dan lost dengan kartu kreditnya.

Barusan ia menanyakan kecengannya (wanita yang sempat membuatnya tertarik) di Solo yang dulu pernah saya bawa ke Jogja, teman kos saya dulu. Padahal kondisinya, dia sudah akan rabbi dan tinggal menghitung bulan. Satu tangan saja dengan kelima jari saya ini hitungan mundur menuju ke pelaminan baginya sudah sangat dekat. Anehnya, masih bisa dia menggoda wanita lain.


Ya, Tuhan….Engkau memang menciptakan pria untuk memilih, tapi bukan berarti membiarkan mereka seenaknya memilih dan mengorbankan seorang wanita menjadi merasa telah dipilih atas keisengannya. Padahal saya tahu, siratan pembicaraannya dengan si wanita, sebatas iseng.

Lebih pastinya, saya pernah menanyakan padanya. “Cep (panggilan bukan sebenarnya), bisa-bisanya udah mau rabbi masih ngganjenin (menggoda) teman saya?”


At least, dia hanya tertawa sambil menunjukkan sms-sms panjang durasi tak terhingga dari calonnya. Dan dia tidak pernah menjawab secara eksplisit. Implisit pun nihil. Cepol…cepol….

Ingin rasanya saya mengkaji masalah pria yang satu ini, sayangnya besok ada mid semester dan saya kudu merampungkan kajian saya dulu. C..U…next sequel..

Titip pesan: untuk yang sedang dalam perjalanan jauh, saya mendoakanmu cepat sampai kembali dengan selamat.

06 Februari 2009

Comfort zone, got it lose or never try to be strong!

Suatu sore di tepi ruangan yang diiringi rintikan hujan, teman saya berujar tentang ketakutannya. Dia katakan pada saya, “Yaz, gw takut, kalau nanti gw kehilangan kehidupan yang nyaman seperti sekarang”. Sederhana! Saya pikir saat itu. Namun, pertanyaan itu menjadi undeliberate sebuah peristiwa yang saya temui dalam waktu yang tak lama. Saya mendapatkan pertanyaan itu untuk keesokannya saya mendapatkan buku yang membicarakan hal yang sama.


Ini hidup, Boz! Jangan terlalu sempit memandang. Saya katakan spontan saat itu. ”Keberanian tak kan muncul kalau rasa takutnya belum lewat”. So, sudah beruntung merasakan tahap pertama, setidaknya ada perasaan takut, berikutnya adalah saatnya lalui next fase! Lalui rasa takut itu dengan berempati terhadap keadaan orang lain yang kurang beruntung, keadaan adek-adek kita yang tidak bisa nyaman merasakan kasih sayang penuh dari orang tuanya, keadaan ibu-ibu lansia yang terpapah lemah di pembaringan panti jompo. “Dan semuanya, yang ditemui di bidang ini”. Ucap saya sambil menunjuk sendiri keberadaanya yang juga bergerak di bidang social dan masyarakat. Seharusnya ia bisa belajar banyak dari rasa empati yang bisa ia sentuh dari situ.


Ketika takut menjadi candu, ketika takut membatasi gerak karena parno atas resiko-resiko di kemudian sesion kehidupan. Itu akan menjadikan kita makin kecil untuk kehidupan yang begitu luas. Saya katakan padanya, serba spontan. Dan mencoba, mengartikannya untuk membuka keberaniannya sendiri. Saya pikir, bukannya ia takut. Hanya saja, enggan untuk mencobanya.


36 jam berikutnya, saya menemukan buku berjudul “Menyemai Impian, Meraih Sukses Mulia” karya inspired Jamil Azzaini. Jawaban yang diberikan layaknya “Kutu dalam Kotak Korek Api”. Dia adalah hewan yang senantiasa hidup di dalam sekotak korek api kemudian bebas di alam belantara, setelah sekian lama ia terbiasa meloncat setinggi korek api. Padahal sesungguhnya, ia pun dapat meloncat lebih tinggi dari yang ia kira. Begitu ia bebas di dunia nyata yang tak bersekat, ia hanya bisa meloncat setinggi korek api. Karena ia hidup dengan persepsi seperti itu sejak ia lahir hingga menjadi pembiasaan. Kemampuan sang kutu yang sebenarnya bisa muncul, tidak muncul karena dibatasi pengalaman hidup di dalam kotak korek api. Yang didalamnya tidak ada ombak sebesar gulungan bukit, seperti di lautan. Yang di dalamnya tidak ada angin sekencang jetcoaster, seperti di tepian pantai sore hari. Yang di dalamnya tak ada batu besar yang harus dilompati, layaknya benteng pertahanan yang selalu membawa kita di comfort zone.


-tidak akan terlahir nahkoda yang handal dan kuat, jika tak ada badai dan ombak besar yang berhasil dilaluinya-


Intinya, ”Jangan takut terlepas dari zona aman, karena itu akan membuatmu belajar lebih kuat. Meski awalnya, terasa rapuh.” Saya belum sempat menjawab, setidaknya dari sinilah saya akan menguraikan lebih dari sekedar jawaban. Semoga bisa menjadi wacana baru untuk teman say dan tentunya, pribadi saya sendiri. Karena saya pun sedang belajar! Tak ingin menggurui siapapun. Hanya sebatas kata yang dibatasi petak-petak pikiran yang terus berputar ditengah terlelapnya orang-orang tergeletak nyenyak di tempat pembaringan. (-nite-)

04 Februari 2009

Pit Stop

Satu perahu berlayar ke timur, lainnya ke barat,
Padahal digerakkan oleh angin yang sama.
Bukan arah angin yang menentukan
ke mana arah perahu,
tapi bentangan lebar layarlah yang membawa kita.
Seperti angin laut itulah alur kehidupan.
Saat kita mengarungi kehidupan.
Bentangan jiwalah yang menentukan tujuannya,
Dan bukan ketenangan atau hiruk pikuknya lingkungan kita.
(Ella Wheeler Wilcox)

Kericuhan hari kemarin adalah pelajaran buat saya. Ada tidaknya sesuatu yang tidak pas pada porsinya, membuat saya belajar untuk menyikapi kondisi yang ada. Sekali lagi, bukan kita yang terbawa situasi, tapi kita lah yang membawa situasi itu kemudian mengarahkannya karena kitalah nahkodanya. Bukan ombang-ambing ombak di luaran sana yang menjalankan kehidupan saya.

Hari kemarin crowded dan membuat banyak orang lain kecewa atas diri saya. ”Maaf...!”, hanya itu senjata satu-satunya yang bisa saya keluarkan ketika membuat orang lain kecewa. Namun, tak sampai di situ saya bisa meleburkan kekecewaannya. Paling tidak saya bertekad akan lebih baik.

Hampir saja, perjalanan panjang yang saya lalui akhir-akhir ini membuat saya lelah. Entah, kelelahan apa yang mengelabui keyakinan saya sementara ini. Setidaknya, saya tidak akan menyerah sekarang. Saya ini, hanya butuh ruang dan napas panjang untuk menikmati kehidupan lain yang sempat saya lupakan.

Saya berpikir mencari tempat semacam ”pit stop”. Seperti tontonan saya tiap musim di tahun 2009 ini yang akan diawali bulan April mendatang, adalah arena ”pit stop” yang menjadi pilihan seorang pembalap sekelas Rossi ataupun Pedrosa untuk memenangkan sesinya dengan perhitungan waktu yang tepat dan amunisi yang baru. Saya pun ingin memasuki area ini, dengan perhitungan tepat ketika waktu orang lain tidak saya rugikan dan dengan waktu saya sendiri. Untuk sekedar mengisi bahan bakar baru dan menantikan semangat baru muncul dengan napas penyegaran.

The last, saya suka ending hari kemarin. Saya menemukan ”pit stop” ini sepanjang perjalanan saya ke Sukoharjo. Tepat hari Selasa, saya menjelajahi Sukoharjo, sedikit menyerempet ke Wonogiri melihat pemandangan bukit yang luar biasa indahnya. Saya baru pertama kali melewati jalur itu, dan terasa begitu nikmat. Laiknya menyantap dinginnya es kelapa muda, di tepian aliran sungai yang mengalir jernih.

Di tambah lagi kejadian di perpus pusat yang membuat saya sedikit terobati dengan segala macam perasaan yang bercampur, sama halnya gado-gado: ada perasaan bersalah meninggalkan tanggungan, mengecewakan orang lain, melakukan banyak hal tapi melepaskan banyak moment. Membuat saya makin merasa bahwa 24 jam ini terasa begitu cepat berputar. Dan saya ingin menemukan ”pit stop”-”pit stop” lainnya yang akan memberikan waktu bagi saya untuk menikmati hidup. Melewati kosongnya waktu dengan perenungan. Perenungan panjang selama hampir 2 tahun saya di Solo. Ataupun rutinitas yang sudah mulai membuat saya sesak. Ingin segera mencari tempat bernama ”pit stop”. Dan sangat ingin......pergi ke alam bebas.