15 November 2010

Wanita di Lembah Cinta

Takbir…

Sedari tadi malam hingga kini takbir berkumandang, dekat area kos tempat diri bersemayam. Pagi ini, gemuruhnya sama persis seperti semalam. Sembari mendengar kumandang takbir, sayup-sayup mata ini berputar dan tangan ini bergerak. Saya mulai berceloteh pada kesendirian dan kesunyian. Inilah celoteh saya di dunia fiksi.

Wanita di Lembah Cinta

Celoteh ini tentang Saudagar di Lembah Cinta. Kisah seorang Saudagar yang sedang berpesiar di lembah cinta. Tak terlalu kaya tetapi cukup untuk menghidupi dirinya. Tak terlalu tampan tetapi cukup menarik perhatian tawanan hatinya.

Konon cerita tentang lembah cinta adalah cerita klasik yang turun-temurun. Lembah cinta adalah sebuah desa kecil penuh cinta orang-orang di dalamnya. Cinta yang suci dan menenangkan jiwa. Cinta yang ditangkupkan pada seseorang yang mengharapkan cintanya terbalaskan. Terbalas dengan ikatan yang disucikan pula.

Lembah ini menawarkan sejuta pesona keanggunan termasuk di dalamnya, tinggalah seorang wanita perantauan yang cukup lama tinggal di Lembah itu. Wanita ini tidak lah pribumi asli. Ia perantau dan mungkin akan menetap lebih lama lagi di Lembah itu. Wanita ini tak pernah mengharapkan siapa pun untuk mengisi hidupnya. Ia hanya berkonsentrasi mencari kekayaan dan kedamaian dalam jiwanya. Kedamaian yang berpangkal dari senyuman orang-orang disekitarnya. Kekayaannya pun adalah kekayaan yang ia cari untuk dirasakan bersama.

Si wanita yang terkenal anggun, tinggal sendirian di persemayamnya. Beberapa kali lelaki datang, mencoba memenuhi hidup dan mimpinya, tak pernah ada yang mempan. Si wanita lebih senang kesendirian dan kesunyian. Ia merasa, di tempat seperti inil ah ia menemukan kehidupan yang hakiki. Membuatnya terus mengingat kebesaran Tuhannya dan semua orang yang berjasa dalam hidupnya.

Lelaki…benar-benar sekedar lewat di depan kediamannya. Tidak ada yang berani mengetuk pintu kediaman wanita ini, kecuali satu. Dialah Saudagar yang dari kejauhan bisa menyentuh pesona keramahan dipadu watak keras dari si wanita. Orang Lembah mengatakan, wanita ini cukup cantik, ramah dan dermawan. Ia lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Hingga ia lupa bahwa nyatanya ia memerlukan pendamping untuk menemani hidupnya. Terdengarlah, berita ini sampai pada telinga saudagar.

Saudagar mulai mendekati si wanita. Anehnya, si wanita yang terkenal tak gentar menghadapi rayuan lelaki, sedikit – perlahan mulai meluluhkan hatinya. Si wanita terkenal memiliki pendirian keras untuk tidak tertarik pada lelaki kecuali jika telah datang waktunya. Bahkan, ia tak ingin didekati dengan embel-embel ‘iseng’. Itulah si wanita.

Hingga akhirnya Saudagar datang membawakan mawar merah memikat yang sebenarnya racun bagi si wanita. Racun, karena si wanita yang keras hati akhirnya luluh juga dengan pikatan Saudagar. Saudagar pun antusias mendekati si wanita hingga akhirnya terjadi kedekatan diantara mereka. Dekat tanpa ada hubungan apa pun. Dekat itu pun sebatas bertatap pandang, tak lama, hanya sekejap setelah itu Saudagar lebih suka mengirimkan surat pengharapan kepada si wanita.

Ternyata Saudagar memberikan surat berpengharapan yang diharapkan pula oleh si wanita. Si wanita mulai beraksi mencari tahu tentang watak asli Saudagar. Alhasil, si wanita kecewa dibuatnya.

Saudagar hanyalah pria seperti kebanyakan pria lain. Ia tak sungguh-sungguh dengan hatinya terhadap si wanita. Si wanita mengetahui sesuatu yang membuatnya marah besar. Ia tahu bahwa Saudagar melakukan hal yang sama pada puluhan wanita lainnya, yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih kaya tentunya. Surat-surat pengharapan yang dianggap sesuatu yang langka dari seorang lelaki pada seorang wanita, hanyalah kamuflase dari watak Saudagar yang suka berkelana. Akhirnya, keputusan besar diambil dalam rangkaian panjang kehidupan si wanita.

Si wanita mundur perlahan dari perhelatan kisah kedekatannya dengan Saudagar. Saudagar sempat kalang kabut di buatnya. Namun, bagi si wanita, ia hanya butuh kepastian dari Saudagar. Jika Saudagar mampu memberikannya…maka si wanita pun akan menerima hempasan tangannya. Menerima dengan sepenuh jiwa, dengan segala kekurangan Saudagar. Namun, kisah klasik ini berakhir lain yang membawa si wanita pada perhelatan kehidupan yang lain.

Seperti apa kisahnya….

To be continued….

12 November 2010

Aroma Sendu

Hai…

Saya benar-benar ingin bercerita pada dinding tak bernapas ini. Dinding air yang mengalirkan setumpuk ide ga’ jelas dari seorang Deeast. Coretan aneh dari alam bawah sadarnya yang memaksanya menggali kuburan memori lebih dalam. Terlalu dalam, kadang terasa sakit, terasa menyayat, terasa galau. Ini bukan alam bawah sadar yang berwarna terang seperti siluet fajar. Hari ini replika kehidupan lainnya turut memenuhi memoriar saya. Replika kehidupan yang kembali terulang dalam neuron otak saya. Soma mengalun, yang membawa saya pada akhir 2008 silam.


Hufh,

Dinding ini tak berdetak dan bernapas. Bahkan tak bisa ditinggalkan oleh rohnya. Tak bisa pula membuat orang sedih karena berpisahnya roh dari raga. Ini membuat saya ngilu. Membuat saya harus mengingat masa-masa itu.


Saat itu……

Kami duduk berdekatan. Sangat dekat. Saya pegang pundaknya. Saya genggam jemarinya. Saya lakukan apapun untuknya. Saya usap pelupuh mata di kedua sisinya. Bahkan saya persilahkan bahu ini sebagai pembaringan bagi kegundahannya. Tak henti-hentinya ia mengusap kedua raut wajahnya. Sembab. Memerah. Pilu. Khawatir. Dan getir.


Entahlah,

Saya pun tak mampu berkata-kata saat itu. Redup dan gelap. Semua menghilang dan menjauh. Memetakan persepsi ketakutan dan keputusasaan. Hal yang paling menakutkan seakan terjadi begitu saja.


Hari ini,

Saya melihat adegan itu terulang.

Rentetan orang memutari wanita muda di depan kamar kos saya. Memencet tuts number yang berhubungan dengan seluruh family-nya. Tak ada yang mau mengatakan apa yang terjadi. Ia hanya menangis dan tersipuh di ambang pintu. Trenyuh dan hening saat itu. Hanya suara isak tangis yang terdengar. Suara yang sama, yang saya dengar waktu itu.


Waktu itu,

Suara serak menggelanyut, wanita dalam pelukan saya. Ia hampir rubuh dan kami pun hampir nelangsa di buatnya. Kalau bukan kami yang tegar dan turut roboh, lantas siapa yang akan memeganginya agar tetap tegak?


Saat itu,

Saya tak sendiri. Kami berdua mengapitnya dalam peluk sayu saat itu. Kami mencoba membuatnya tegar meski kami pun tak kuasa melihatnya menangis, khawatir dan bingung.


Seperti dua tahun yang lalu,

Hari ini, adegan itu terulang. Sebuah berita melayang dari ponsel wanita di kerumunan tadi.

“Mas-mu kecelakaan…..” Deggg!!

Tubuhnya mengglosor tak bertulang. Kakinya lemas dan tangisnya menjadi. Kami berkumpul dan memutarinya. Seseorang menggenggam dan seorang lagi memeluknya.


Lagi-lagi....

Scene yang sama. Saat itu dan hari ini adalah hari yang sama dimana saya menangis. Seperti pepatah lama, "Ada pertemuan-ada perpisahan"

"Dari tanah…akan kembali ke tanah…"