28 Desember 2010

Child for Future

Ada yang menarik dari kata-kata seorang pembicara dalam acara yang saya protokoli. Seperti ini bunyinya, “Untuk apa mendorong anak kita menjadi ranking 1 jika yang diperebutkan hanyalah satu kursi. Tapi…sebagaimana pintarnya kita sebagai orang tua untuk mendorong anak kita meraih kesuksesan di bidang yang diminatinya.“ Benar juga saya mencerna perlahan kata-kata itu. Pastinya…anak mana yang mau dituntut hanya karena obsesi orang tua. Ga’ banyak orang tua yang habis-habisan (ya ongkos, ya tenaga) untuk memasukkan anaknya ke sekolah mentereng (bonafide). Tapi bukan karena keinginan anaknya, melainkan keinginan orang tuanya. Status sosial lah yang menjadi faktor pendorong utama. Terlihat hebat diantara orang tua yang lainnya, ketika bisa memamerkan putra-putrinya masuk ke sekolah bonafit atau kelas akselerasi, meski sebenarnya yang perlu dilihat adalah kemauan dan kemampuan anak itu sendiri. Bukan seberapa tebal kantong orang tua. Karena yang akan menjalankan proses belajar mengajar, pastilah si anak. Biarkanlah anak belajar memilih dan kita membimbing. Bukan kita yang memilih dengan segala otoritas kita sebagai orang tua dan membiarkan anak kita menjalani masa kecilnya seperti robot. Dari sinilah anak akan belajar bertanggungjawab dengan pilihannya sendiri.


Satu lagi yang menarik dari yang saya baca, “Children Learn What They Live” by Dorothy Law Nolte. Seperti ini bunyinya, tentunya setelah ditranslate:
Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.

So…yakinkah kita sebagai orang tua tega mencetak anak kita dengan pembelajaran yang terjadi seperti di atas. Tentunya, tidak…
See bout this….

Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan kasih saying dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Anak adalah anugrah yang seharusnya kita pelihara sebaik-baiknya hadiah terbesar dari Tuhan. Anak itulah yang akan meneruskan lahiriah kita sebagai manusia. Baik dan buruknya anak adalah tanggungjawab kita sebagai orang tua. Disinilah peran suami dan istri untuk sama-sama mendidik anaknya. Keduanya berperan sama besarnya. Jika ayah mengajari anak untuk berani dan berpikir logis, maka ibu mengajari anak untuk berempati dengan perasaan orang lain dan berpikir dewasa. Jika ayah memberi perlindungan, maka ibu memberikan kehangatan untuk anaknya.
Peranan keduanya haruslah seimbang meski keduanya bekerja mencari nafkah sebagai individu yang dikatakan dual carrier marriage. Terutama bagi ibu yang berperan ganda (sebagai ibu dari anak-anaknya-istri bagi suaminya dan sebagai wanita karir). Sisi yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan dirinya dalam mengatasi permasalahan dalam rumah tangga.


Inilah…mudah-mudahan yang menjadi bahan tugas akhir saya….
Doakan ya…berjalan lancar dan sukses sampai gelar S.Psi bisa saya rengkuh…
Amin….





15 November 2010

Wanita di Lembah Cinta

Takbir…

Sedari tadi malam hingga kini takbir berkumandang, dekat area kos tempat diri bersemayam. Pagi ini, gemuruhnya sama persis seperti semalam. Sembari mendengar kumandang takbir, sayup-sayup mata ini berputar dan tangan ini bergerak. Saya mulai berceloteh pada kesendirian dan kesunyian. Inilah celoteh saya di dunia fiksi.

Wanita di Lembah Cinta

Celoteh ini tentang Saudagar di Lembah Cinta. Kisah seorang Saudagar yang sedang berpesiar di lembah cinta. Tak terlalu kaya tetapi cukup untuk menghidupi dirinya. Tak terlalu tampan tetapi cukup menarik perhatian tawanan hatinya.

Konon cerita tentang lembah cinta adalah cerita klasik yang turun-temurun. Lembah cinta adalah sebuah desa kecil penuh cinta orang-orang di dalamnya. Cinta yang suci dan menenangkan jiwa. Cinta yang ditangkupkan pada seseorang yang mengharapkan cintanya terbalaskan. Terbalas dengan ikatan yang disucikan pula.

Lembah ini menawarkan sejuta pesona keanggunan termasuk di dalamnya, tinggalah seorang wanita perantauan yang cukup lama tinggal di Lembah itu. Wanita ini tidak lah pribumi asli. Ia perantau dan mungkin akan menetap lebih lama lagi di Lembah itu. Wanita ini tak pernah mengharapkan siapa pun untuk mengisi hidupnya. Ia hanya berkonsentrasi mencari kekayaan dan kedamaian dalam jiwanya. Kedamaian yang berpangkal dari senyuman orang-orang disekitarnya. Kekayaannya pun adalah kekayaan yang ia cari untuk dirasakan bersama.

Si wanita yang terkenal anggun, tinggal sendirian di persemayamnya. Beberapa kali lelaki datang, mencoba memenuhi hidup dan mimpinya, tak pernah ada yang mempan. Si wanita lebih senang kesendirian dan kesunyian. Ia merasa, di tempat seperti inil ah ia menemukan kehidupan yang hakiki. Membuatnya terus mengingat kebesaran Tuhannya dan semua orang yang berjasa dalam hidupnya.

Lelaki…benar-benar sekedar lewat di depan kediamannya. Tidak ada yang berani mengetuk pintu kediaman wanita ini, kecuali satu. Dialah Saudagar yang dari kejauhan bisa menyentuh pesona keramahan dipadu watak keras dari si wanita. Orang Lembah mengatakan, wanita ini cukup cantik, ramah dan dermawan. Ia lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Hingga ia lupa bahwa nyatanya ia memerlukan pendamping untuk menemani hidupnya. Terdengarlah, berita ini sampai pada telinga saudagar.

Saudagar mulai mendekati si wanita. Anehnya, si wanita yang terkenal tak gentar menghadapi rayuan lelaki, sedikit – perlahan mulai meluluhkan hatinya. Si wanita terkenal memiliki pendirian keras untuk tidak tertarik pada lelaki kecuali jika telah datang waktunya. Bahkan, ia tak ingin didekati dengan embel-embel ‘iseng’. Itulah si wanita.

Hingga akhirnya Saudagar datang membawakan mawar merah memikat yang sebenarnya racun bagi si wanita. Racun, karena si wanita yang keras hati akhirnya luluh juga dengan pikatan Saudagar. Saudagar pun antusias mendekati si wanita hingga akhirnya terjadi kedekatan diantara mereka. Dekat tanpa ada hubungan apa pun. Dekat itu pun sebatas bertatap pandang, tak lama, hanya sekejap setelah itu Saudagar lebih suka mengirimkan surat pengharapan kepada si wanita.

Ternyata Saudagar memberikan surat berpengharapan yang diharapkan pula oleh si wanita. Si wanita mulai beraksi mencari tahu tentang watak asli Saudagar. Alhasil, si wanita kecewa dibuatnya.

Saudagar hanyalah pria seperti kebanyakan pria lain. Ia tak sungguh-sungguh dengan hatinya terhadap si wanita. Si wanita mengetahui sesuatu yang membuatnya marah besar. Ia tahu bahwa Saudagar melakukan hal yang sama pada puluhan wanita lainnya, yang lebih cantik, lebih pintar dan lebih kaya tentunya. Surat-surat pengharapan yang dianggap sesuatu yang langka dari seorang lelaki pada seorang wanita, hanyalah kamuflase dari watak Saudagar yang suka berkelana. Akhirnya, keputusan besar diambil dalam rangkaian panjang kehidupan si wanita.

Si wanita mundur perlahan dari perhelatan kisah kedekatannya dengan Saudagar. Saudagar sempat kalang kabut di buatnya. Namun, bagi si wanita, ia hanya butuh kepastian dari Saudagar. Jika Saudagar mampu memberikannya…maka si wanita pun akan menerima hempasan tangannya. Menerima dengan sepenuh jiwa, dengan segala kekurangan Saudagar. Namun, kisah klasik ini berakhir lain yang membawa si wanita pada perhelatan kehidupan yang lain.

Seperti apa kisahnya….

To be continued….

12 November 2010

Aroma Sendu

Hai…

Saya benar-benar ingin bercerita pada dinding tak bernapas ini. Dinding air yang mengalirkan setumpuk ide ga’ jelas dari seorang Deeast. Coretan aneh dari alam bawah sadarnya yang memaksanya menggali kuburan memori lebih dalam. Terlalu dalam, kadang terasa sakit, terasa menyayat, terasa galau. Ini bukan alam bawah sadar yang berwarna terang seperti siluet fajar. Hari ini replika kehidupan lainnya turut memenuhi memoriar saya. Replika kehidupan yang kembali terulang dalam neuron otak saya. Soma mengalun, yang membawa saya pada akhir 2008 silam.


Hufh,

Dinding ini tak berdetak dan bernapas. Bahkan tak bisa ditinggalkan oleh rohnya. Tak bisa pula membuat orang sedih karena berpisahnya roh dari raga. Ini membuat saya ngilu. Membuat saya harus mengingat masa-masa itu.


Saat itu……

Kami duduk berdekatan. Sangat dekat. Saya pegang pundaknya. Saya genggam jemarinya. Saya lakukan apapun untuknya. Saya usap pelupuh mata di kedua sisinya. Bahkan saya persilahkan bahu ini sebagai pembaringan bagi kegundahannya. Tak henti-hentinya ia mengusap kedua raut wajahnya. Sembab. Memerah. Pilu. Khawatir. Dan getir.


Entahlah,

Saya pun tak mampu berkata-kata saat itu. Redup dan gelap. Semua menghilang dan menjauh. Memetakan persepsi ketakutan dan keputusasaan. Hal yang paling menakutkan seakan terjadi begitu saja.


Hari ini,

Saya melihat adegan itu terulang.

Rentetan orang memutari wanita muda di depan kamar kos saya. Memencet tuts number yang berhubungan dengan seluruh family-nya. Tak ada yang mau mengatakan apa yang terjadi. Ia hanya menangis dan tersipuh di ambang pintu. Trenyuh dan hening saat itu. Hanya suara isak tangis yang terdengar. Suara yang sama, yang saya dengar waktu itu.


Waktu itu,

Suara serak menggelanyut, wanita dalam pelukan saya. Ia hampir rubuh dan kami pun hampir nelangsa di buatnya. Kalau bukan kami yang tegar dan turut roboh, lantas siapa yang akan memeganginya agar tetap tegak?


Saat itu,

Saya tak sendiri. Kami berdua mengapitnya dalam peluk sayu saat itu. Kami mencoba membuatnya tegar meski kami pun tak kuasa melihatnya menangis, khawatir dan bingung.


Seperti dua tahun yang lalu,

Hari ini, adegan itu terulang. Sebuah berita melayang dari ponsel wanita di kerumunan tadi.

“Mas-mu kecelakaan…..” Deggg!!

Tubuhnya mengglosor tak bertulang. Kakinya lemas dan tangisnya menjadi. Kami berkumpul dan memutarinya. Seseorang menggenggam dan seorang lagi memeluknya.


Lagi-lagi....

Scene yang sama. Saat itu dan hari ini adalah hari yang sama dimana saya menangis. Seperti pepatah lama, "Ada pertemuan-ada perpisahan"

"Dari tanah…akan kembali ke tanah…"

11 Oktober 2010

Entah Deh

Konsep seperti apa yang menjadikan hidup ini adalah jalan kita yang memang kita inginkan. Kadang berkutat pada masa depan. Menyelinap sendiri dari masa lalu yang entah datangnya dari mana hingga tak sanggup lagi melupakannya. Kadang merasa sendiri atau sepi di keramaian. Kadang merasa berjuta orang menemani tapi tak tulus. Atau ada seseorang yang benar-benar ada dengan sebuah kata “tulus”.

Listen! Satu paragraf di atas adalah sebuah 'keluputan'.  Entah berakar dari mana hingga tumbuh kata-kata seperti itu. Saya pun tidak tahu ingin mengarahkannya kemana. Namun, tangan ini terus bergerak hingga mencapai ketidaktahuannya.  

Morli! Nama apa itu? Entah… saya juga bingung. Ini 'keluputan' kedua. Menuliskan nama si empu, yang ga tau mau diapakan. Lahir dari mana hingga membesar entah kemana arah tujuannya.

Atau si Morli itu teman saya yang sangat menyebalkan dengan hidung pesek dan gaya celamitan? Bukan juga. Atau si Morli itu tetangga saya yang baru jatuh dari aksinya sok lompat tinggi di tali jemuran. Upz, kalau yang ini adalah pengalaman saya ketika saya terpilih jadi atlet lompat tinggi zaman SMP dulu. Saking semangatnya, saya berlatih di tali jemuran. Dan alhasil, terpental lah saya 2 meter dari ketinggian. Badan pegal-pegal dan membiru. Untungnya, tidak sampai patah tulang.

Ternyata bukan juga. Dan saya lelah mencari Morli yang dimaksud. Ow ya, sepertinya Morli ini adik mungil yang saya temui di sebuah salon kemarin. Kulitnya putih, badannya kecil mungil, pipi bulat dan tengak-tengok ketika di potong rambutnya. Alhasil ia menjadi si Morli berponi lucu. Aduh, betapa lucunya si Morli itu. Ketika dia pergi, si mama menyuruhnya keluar dari salon dan memanggilnya, “Nadia..ayok pulang.” Beuh, ternyata bukan juga.

Saya tahu, saya tahu. Si Morli itu teman saya yang semalem curhat dari a-z hingga saya terkunci di luar kos-kosan. Berdiri mematung sambil cemberut. Dan menelan ludah dalam-dalam. Sambil menangis dan mengurai derita meratapi kemalangan saya malam itu. “Saya terlantar.”, ujar saya malam itu. Karena saya tidak tahu harus merebahkan diri dimana untuk tidur malam itu. Sempat punya pikiran gila saat itu, saya bakar saja bunga kesayangan ibu kos dan berharap beliau keluar kos sambil marah-marah dan saya sedikit perlahan melangkah ke dalam kos.

Terserah deh, mau dimarahin, yang penting saya bisa masuk kos sebelum jam 9 berdentang. Karena sebentar lagi saya berubah menjadi upik abu yang disia-siakan kakak tiri saya. Beuh, kejauhan ceritanya. Setengahnya benar, setengahnya bulshit. Pembohong ulung atau penulis fiksi yang ga’ punya ide? Lagi-lagi si Morli yang saya maksud bukan dia. Saya jengkel dan mulai membolak-balikkan memori saya yang tertilap di lapisan terbawah pada rak kelupaan yang saya miliki.


Morli…Morli… Morli itu sahabat saya di Jakarta yang saya rindukan. Teman seperjuangan saya dari SMP hingga SMA dan akhirnya kita berpisah ketika dia diterima di sebuah lembaga elit di Jakarta dan saya nyungsep di sini. Di semak-semak belukar seperti orang hilang yang ga’ punya rumah. Alhasil ibu kos saya menemukan saya di emperan jalan belakang kampus dan memungut saya untuk menjadi penghuni salah satu kamarnya.

Kembali ke si Morli sahabat saya. Dulu sih bulat dan pendek. Lucu dan menggemaskan. Baik hati dan tidak pernah marah. Sabar dan penyayang. Satu lagi, hidungya besar. Sempat ia berkata pada suatu waktu di kelas zaman SMA dulu, “Yaz, kita kan hidungnya sama-sama besar. Kamu besar tapi mancung. Tapi ko lubang hidungku lebih besar ya?” pada saat itu juga saya ngakak (red:ketawa ngikik) tak tertahankan.

Yah, balik lagi ke si Morli sahabat saya ini. Sahabat yang ingin saya temui ketika saya pulang ke tempat asal saya. Sebelum lebaran ia datang ke rumah dan hanya menemui ibu saya. Selepas saya pulang, giliran saya menghampiri ke rumahnya. Baru niat sey, baru short massage service, ia sudah berujar, “Besok mau pendadaran, Yaz.” Ibarat sudah jatuh, nyungsep juga di comberan. Saya tidak bisa menemuinya dan hanya smsan ga penting yang akhirnya memupuskan keinginan saya untuk menceritakan curhatan ga jelas kepada sahabat saya itu.

Dia ambil D3 dari sebuah lembaga ikatan dinas elit di Jakarta dan sudah hampir tuntas masa studinya. Saya pun berpikir, kapan saya menyusul ya? “Secepatnya….”, teriak saya sekencang-kencangnya. Tapi setahu saya, sahabat saya itu, belum mengubah namanya menjadi Morli. Huruf depannya a dan belakangnya g. Jadi selama ini saya berhalusinasi kalau itu si Morli yang saya maksud. Huf, susah juga cari si Morli.

Beruang kecil di tempat tidur saya tiba-tiba berbisik, “Ouh, si Morli itu kan sister, Yaz.” “Iya..iya…betul juga kau bilang.” Si Morli itu kakak saya yang tanggal 3 Oktober kemarin baru ulang tahun dan saya belikan sandal modish yang tak pernah ia pikirkan selama ini. Jadi ceritanya begini. Kakak saya yang sering saya panggil sista itu, bukan kusta atau nista, ulang tahun minggu lalu. Saya bela-belain pulang dari perjalanan 6 jam menerpa lelah dan gelisah. Beuh, kayak mau perang aja. Saya tidak perlu bingung-bingung memilihkan kado yang cocok dan lagi dibutuhkan sista saya itu. Kakak saya ini jaman dulunya tomboy abis. Baru setelah ia ditemukan suami yang menyayanginya kini, ia berubah sedikit feminim dan baik hati. Tapi ya…tetap saja hal-hal kecil seperti sandal, pakaian, atau hal-hal yang berbau modish sering ia lewatkan. Ia menggunakan apa yang ia butuhkan saja. S

Sampai akhirnya lebaran kemarin ia pergi ke acara keluarga di tempat mertuanya dengan sandal japit. “Aduh…sista…sista…ko ga’ beli sandal sih. Bukannya sekarang udah jadi juragan?” Dengan entengnya, sista saya menjawab, “Ga’ kepikiran dek.” Lalu ia beradu pandang dengan suaminya dan bertanya pada suami tercinta, “Abang, gpp kan pake sandal ini.” Dan dengan kesabaran dan penerimaan yang sangat tulus dari sang suami. Kakak ipar saya itu mengangguk dengan bahagianya. Batin saya, “Aduh, sista ini…kan adeknya yang malu. Malu sama kakak ipar dan pastinya…keluarga dari kakak ipar di Bandung.” Tapi ya…bagaimanapun tomboinya kakak saya itu, ia tetap sista yang pintar dan asik diajak diskusi setiap saya ada masalah. Hanya satu tema yang saya takut mendiskusikan dengannya, that’s married in youngness. Hehehe, karena jujur, tuntutan keluarga mengarahkan saya untuk menyelesaikan studi saya S1 baru nikah. Duh, Gusti, bantu saya bersabar.


Ok, yang barusan ga’ penting. Kembali ke topik, kado kakak saya. Akhirnya, saya belikan saja sandal bagus dan modish yang cukup menguras kantong saya ini untuk kado terindah di tahun ini bagi sista. Namun, kening saya mengerut tiba-tiba. Barusan sista sms dan menyuruh saya ke Jogja hari senin besok. Saya baru ingat. Kalau sista saya itu, belum pernah dipanggil Morli. Paling pol juga Marni, bukan Morli. Kebagusan buat dia. Upz, peace, sista…hehehe.

Saya langsung memaki-maki si beruang kecil dan menyumpahinya tidak bisa tidur nyenyak selama ratusan tahun. Gara-gara dia saya hampir salah mencari orang yang bernama Morli. Dan saya hampir terjebak oleh rayuan mautnya yang menggelikan. Pantas saja begitu, karena si beruang ini juga terlahir dari sebuah cinta yang tak pernah saya duga selama ini. Peace bear. Dan ternyata saya salah sebut untuk kedua kalinya. Bukan ‘beruang’ tapi ‘panda’ maksud saya. Hehee, makin aneh kan tulisan saya. Karena berawal dari ketidakjelasan, maka berakhirnya pun dengan ketidakejelasan plus diare 7 malam bagi yang baca tulisan ini.

09 Agustus 2010

Last Week

Saya hampir menjajaki hari-hari terakhir saya di rumah sakit. Hampir usai menemani anak-anak yang lucu, polos (tanpa dosa), dan segudang harapan yang pasti mereka gantungkan di atas sana. Tinggi di sana, yang anak-anak katakan, disitulah tempat pelangi bersemayam. Burung-burung meliuk indah dan mengintip kita dari atas. Awan dan matahari adalah bukti wujudnya siang. Sayup-sayup bulan cantik menampakkan senyumnya menyapa kita tiap malam. Disanalah, pikir anak-anak.



Wajah tanpa dosa yang kian merajuk ketika mulai diperiksa dalam batas waktu lama. Anak-anak hanya dapat ditarik perhatian penuhnya untuk berkonsentrasi pada serangkaian alat tes psikologi tidak lebih dari satu jam, begitu tutur pembimbing lapangan kami. Anak-anak adalah dambaan tiap orang tua, harapan menggantung pada doa dan ikhtiar, atau sekedar anugerah manis mungil yang tersimpan manja di rumah masing-masing. Pilihan itu adalah masing-masing orang tua yang melatarbelakangi anak-anak ini akhirnya di bawa ke sini. Di saat kami di sini untuk mereka dan berkesempatan membantu mereka.


Rutinitas pagi ini tak berbeda jauh dengan sebelum-sebelumnya. Mengamati anak-anak, memberikan serangkaian tes (bila perlu), mewawancarai orang tua, berbagi cerita, atau sekedar mengamatinya dari kejauhan.

Empat hari sebelum off, adalah hari-hari berat, ketika saya harus meninggalkan mereka dan semangat saya mulai tergoyahkan. Sedikit muncul, tapi berbeda ketika melihat wajah mungil-mungil tanpa dosa, bahkan ketika mereka sudah dihadapan saya. Ada keinginan untuk selalu dekat dengan mereka. Loyo dan hopeless terhempas bersama angin lalu.



Pagi ini, sama seperti biasa. Ada pasien datang yang sebelumnya sudah datang ke poli tumbuh kembang ini. Sebelumnya saya belum memegang anak ini. Kali ini adalah giliran saya. Adek yang berinisial Z ini, duduk termangu bersama ibunya di lobby tumbuh kembang. Hingga saya dan Citra menghampirinya seraya tersenyum menyalami keduanya. Ibu tersenyum hangat membalas sambutan kami, lain halnya Z yang mulai khawatir dan takut. Wajahnya pucat bahkan menangis ketika akan diajak ke dalam ruangan psikologi. Citra mendapat bagian intake dengan orang tua, sedangkan saya, harus tergopoh-gopoh merayu si Z untuk mengikuti rangkaian tes Stanford-Binet.


Kesempatan pertama, saya mencoba mendekati Z, tetapi ia enggan. Jangankan menjawab pertanyaan saya, menatap saya saja, tidak. Lama, saya menunggu, menanti Citra selesai intake-interview dengan panduan VSMS (Vineland Social Maturity Scale), sebuah alat psikologi yang mampu mengukur kematangan sosial anak hingga dewasa (usia 30 tahun) melalui wawancara dengan pihak ketiga (orang tua, saudara kandung, atau guru). Jelas, saya fasih melafalkan jenis alat tes ini, karena baru kemarin saya diminta presentasi alat ini dihadapan teman-teman UNDIP.


Kesempatan kedua, si anak sudah mulai curi-curi pandang ke arah saya. Begitu saya lihat, ia kembali merengkuk malu dan tak ingin di dekati. Saya terus duduk di sampingnya, menanti hingga anak mau sedikit saja berbicara. Sejauh pandang penglihatan saya, si anak hanya menangis dan merajuk. Melempar-lempar sandal dan menggoyahkan keheningan saat itu.


Selesai intake, Citra menatap saya penuh kode “Gimana, Di?”. Saya pun membalas tatapan matanya, “Meneketehe, Cit. Ney anak sulit amat ya?”. Terakhir Citra membalas tatapan mata berkode saya, ia berujar dalam batinya, “Semangat ya, Di….hihihi ….:))


Saya kembali menatap dan mulai menyentuh punggung si anak. Mengajaknya bicara. Namun, justru tangisan yang saya dapat. Saya mencoba mengajaknya bermain, alih-alih menyogok mentalnya agar mau lebih menerima keberadaan saya dan setidaknya bisa saya ajak ngobrol. Karena tidak kunjung memberikan hasil, saya meninggalkan si anak dengan ibunya agar kondisi anak bisa sedikit tenang.


Kesempatan ketiga, saya mendatanginya di ruangan yang sama dan menanyakan, “Gimana, dek, sudah mau main dengan mba?”. Bagus. Bagus. Sudah ada kemajuan nampaknya. Ia mulai berani menatap saya. Dan saya yang berdiri, membongkokkan badan agar sejajar dengan sudut pandang anak. Baru mulai berharap, si anak sudah mulai menggeleng dan merajuk ke arah ibu. Mengeram dan menangis minta pulang. Oke…hari ini menyenangkan, guys.



Kesempatan berikutnya, saya menunggu di ruang sebelah dan menyampaikan kepada ibu, saya di ruang sebelah menunggu adek untuk mau bermain, setidaknya. Ibu mengangguk, dan menyampaikan bahwa sebenarnya anaknya takut kalau disuruh ke rumah sakit, karena trauma ketika epilepsinya kambuh dan mondok di rumah sakit, adek kerap kali dipaksa dokter, digenggam keras-keras, dan selanjutnya…cuzz…adek menangis setelah disuntik paksa sehingga ia trauma dengan orang baru. Got you, child. Jadi ini masalahnya. Akhirnya saya mencoba mengungkapkan bahwa saya bukan dokter dek, saya teman dokter dan tidak memiliki alat suntik. Yah, sedikit berpengaruh, tapi tidak signifikan, rupanya.


Adek mulai mengambahi ruangan saya meski dirinya tetap membisu seribu bahasa. Hanya mengeram dan merajuk. Marah-marah melempar sandalnya atau menendang-nendang apapun di sekitarnya. Saya terus mencoba mengajaknya bermain, dia tetap beraksi sama, menggeleng dan merajuk minta pulang.



“Baiklah, Bu, kalau adek tidak mau, nda apa-apa.”, ujar saya mengarahkan ibu. Selanjutnya saya menatap si anak, “Adek, ingin pulang? Boleh ko, tapi izin dulu ya sama mba. Adek bilang, mba, adek pengin pulang, gitu ya?” . Z tetap diam seribu bahasa dan mulai lagi dengan kebiasaaannya merajuk. Namun, justru surprise, adek mulai berkeinginan bermain dengan saya. Ia mulai mau mengikuti arah kaki saya dan sedikit rayuan, got you,child. Serangkaian aitem tes mulai saya jalankan. , tiba-tiba….”Dut!”. Suara macam apa ini? Ibu juga tertawa di belakang saya. Adek mulai enggan dan malu dengan saya. Hingga saya berujar, “Ga apa-apa dek.” Dalam hati saya, ney adek serius amat sampai membuat bom darat dengan dentuman super sonik. DUT. Jujur, saya menahan tawa saat itu. Tawa menyimpan hal ini menjadi sebuah kenangan bersama adik-adik lucu nan polos.