23 Juni 2009

Belajar Harus Nekad!

The day after tomorrow. Selalu ada hari esok untuk siang dan malam yang tak pernah diundang tapi selalu menjadi penghias kotakan kehidupan manusia. Siang yang bersyarat akan makna hari ini. Banyak moment yang terjadi. Satu moment saja, saya kira yang paling menarik siang ini. Tentang teman saya. Benar, rasanya ada istilah “Belajar Harus Nekad!” Benarkah kenekadan yang mendasari keberhasilan teman saya belajar mengendarai sepeda motor. Padahal secara kronologis, semua berawal dari pemaksaan. Teman saya kita paksa belajar naik motor dengan pengawalan ketat dari kita, notabenenya teman yang bertanggungjawab jika ia kenapa-napa. Mulai dari pintu gerbang hukum – perpus pusat – hingga porsima. Tidak sekedar melewati perjalanan yang menegangkan bagi dia. Ada usaha – kerja keras – hingga perlawanan besar melawan rasa takut.


Sekarang kita telaah secara psikologis, bagaimana orang melawan rasa takut. Perasaan takut bisa mencapai pada taraf diatasnya, yang sering disebut dengan fobia. Fobia naik motor, apakah ada?


Permasalahan di atas dapat dikaitkan dengan sisi alam bawah sadarnya. Bagaimana teman saya mentransfer rasa takut dengan kekuatan yang bisa dibilang “nekad”. Jadi, kekuatan yang menolong dia hingga ia berhasil adalah “Kenekadan”. Takut itu, permainan pikiran. “Takut” itu ada karena pikiran yang mengundang. Terakumulasi di dalam otak dan mengendap menjadi file-file di bawah sadar. Hingga ada stimulus yang merangsang rasa takut untuk muncul kembali, maka akan tampil ketakutan-ketakutan yang lebih besar.


Jadi, konteks “Belajar Harus NEkad!” saya setuju. Karena bukti realnya sudah dilakukan oleh teman saya. Saat akan melaju, ia hanya berujar, “Nekad!”. Saat ia mulai berjalan dan hampir jatuh, lalu sempat membuatnya hampir putus asa, maka sekali lagi ia membatin, “Nekad aja!”. Setelah dua meter melaju dan sekali lagi hampir jatuh, ia hanya mengandalkan jimat yang satu itu, “Nekad! Dan nekad!”. Setelah itu, ia lancar saja mengendarai sepeda motornya meski stug masih pada taraf gigi dua.


Sekarang, bagaimana menurut Anda?

Belajar itu….harus bagaimana??

Kita lihat pendapat orang-orang tentang belajar itu harus bagaimana? Inilah kata teman-teman saya di kampus kehidupan, tempatnya kepluralan manusia ada di dalamnya.


Sofi/FMIPA : Belajar itu harus rajin, serius.


Anang/FT : Belajar itu harus cerdas. Cerdas yang konteksnya dalam segala hal.

Gunawan/FT : Belajar itu harus santai. Berada di tempat sepi dan harus ada

visualisasinya, baik berbentuk tulisan ataupun gambar.


Aziz/FT : Belajar itu harus tau apa yang dipelajari. Belajar itu harus nyaman.

Belajar itu proses.


Resti/FKIP : Belajar itu harus dipaksa. Dengan dipaksa akan muncul motivasi untuk

tetap bertahan dalam kondisi sedang “belajar”.


Wachid/FT : Belajar itu harus ada “hal” yang dipelajari. Istilahnya “Belajar sambil

belajar”. Dalam artian harus langsung diaplikasikan. Menurutnya,

belajar tanpa aplikasi berarti parameter keberhasilannya tidak bisa

dikatakan valid. Makanya dia tipikal orang yang setuju dengan konsep,

habis belajar langsung ujian.


Hari/FMIPA : Belajar itu harus teratur, dalam kondisi fresh, sungguh-sungguh.


Charla/FK : Belajar itu menangis. Berarti perjuangan dan berkorban.


Dias/FK : Belajar adalah aplikasi manfaat otak, ketika kita tidak bisa membiarkan

otak begitu saja berhenti bekerja. Karena sebenarnya, otak itu memiliki

space yang sangat luas dan harus dipenuhi oleh hal-hal yang senantiasa

bermanfaat.


Karina/FK : Belajar tidak harus direncanakan, karena setiap langkah kehidupan merupakan proses pembelajaran.


Tya/FKIP : belajar itu harus memberikan manfaat, dari yang tidak bisa menhjadi bisa dan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Belajar itu harus berorientasi pada proses bukan pada hasil. Teruslah belajar karena belajar tak pernah mengenal kata akhir.


Putri/FE : belajar merupakan proses memahami sesuatu dan melatih seaseorang menjadi dewasa.


Fadhila/FK : belajar adalah pembiasaan.

so, bwt kalian, apa itu....yang namanya "belajar"???

2 komentar:

  1. Belajar itu menjadi pintar dengan hati.
    Belajar itu dua hal, dzikir dan fikir, dimana jarak keduanya hanya sejauh lutut dan mata kaki, sehingga siapapun yg ikhlas "berlutut" untuk berdzikir, maka yakinlah bahwa kakinya akan sanggup menopang disaat sesulit apapun dia berfikir..

    BalasHapus