22 Desember 2008 is mother’s day. Seperti sore saat saya memberikan kecupan terakhir sebelum saya pergi meninggalkan ibu saya karena saya harus ke Solo, sore ini saya ingin bernyanyi sendiri dalam kekhusyukan, untuk sebuah persembahan terdalam dari saya.
Kuputar lagi recording-an kakak saya, dan selalu saya ingat tulisan ini :
Aku bisa mengangkat diri ini lebih tinggi
Karena ku tau, ada kau, sayap lebarku
Aku mampu menatap dunia ini lebih lapang
Karena ku anggap, kau lah mata besarku
Kau mengukir tanganku untuk lebih berani
Karena kau tau, angin besar itu tak sekali
Kau melukis wajahku untuk lebih tegar
Karena kau anggap, aku mampu melewatinya
Lebih dari apapun
Lebih dari segalanya
Kau tetap
Wanita terkuat
Tiap hembus napasnya
Dalam detak jantungnya
Kau tetap
Wanita terhebat
Saat ku tatap langit
Lebih merona
Ku tau kau sandarkan doa
Di punggung hatiku
Syair lagu di atas dinyanyikan saat ibu saya ulangtahun. 22 Juni 2008, bertepatan dengan ulang tahun
Sejarah pembuatan syairnya g pake acara rumit. Waktu itu, saya banyak waktu kosong karena masa transisi dari SMA ke dunia penuh tantangan, dunia sebenarnya di bangku panas perkuliahan. Ketika itu, saya selepas SMA, menunggu masa-masa penantian sebuah kepastian akan melanjutkan zarah hidup saya selanjutnya. Belum tahu kemana saat itu. Kini, sudah terjawab, toh akhirnya saya duduk di tempat yang bertitle-kan
Masa-masa itu adalah ketika saya jarang bertemu dengan teman satu kelas saya, teman belajar saya, teman satu darah perjuangan, teman gila di kelas, teman asik yang sukanya kongkow di kantin Pak Sarkim (red:sisa-sisa kenangan saja!), ataupun teman petunjuk jalan ‘istiqomah’ karena sering mengajak saya diskusi di mushola. Dan sebagainya, adek-adek kelas yang tak terlupakan merepotkannya (red:masa-masa MOS paling seru 2006). The last, kakak-kakak alumnus yang masih inget Paskib dan akan tetap memiliki jiwa satu korsa di dalam
Saya merasa akan ada alur ketika saya makin dewasa, meningkat pula rasa sayang saya pada keluarga saya. Ketika merasa pernah jauh atau kehilangan, ketika itu pula saya semakin mencintai keluarga saya. Sebelumnya saya tak pernah se-melo ini ketika membicarakan keluarga saya, apalagi ibu saya. Semenjak saya sering pergi ke luar kota, tes ujian masuk ini-itu, yang tak pernah kuingini kecuali saran dari orang tua, saya merasa ‘rindu teramat’ pada keluarga saya, terutama ibu saya. Home sick, bahasa menterengnya.
Inspirasi! Sebatas hal yang membuat saya membuka lebar mata saya tentang keluarga saya. Merasakan jauh dari orang tua adalah fase terpenting karena saya tahu “the real world”, yang akan terasa sangat berat ketika kita menjalaninya sendiri. Kedua……diberi kesempatan mengenal banyak orang termasuk yang paling “istimewa”, punya kelebihan yang saya yakin bisa menutupi kekurangan fisik mereka adalah fase terindah yang Tuhan anugrahkan untuk memperbesar rasa syukur saya, yang selama ini jauh dari kata “cukup”. Ketiga…..perasaan kehilangan anggota keluarga, sakit ataupun kecelakaan adalah penantian sebuah jawaban dari arti hidup yang paling hakiki “berpulang kembali pada Sang Pencipta”. Metafora-metafora di atas, harus saya akui telah meyakinkan saya bahwa keluargalah salah satu tiang penguat saya selama ini. Tugu pertahanan saya selama hujan badai mengancam pendirian saya. Dan sudah saatnya pula, tiang-tiang dalam hidup saya, saya sirami dengan apapun yang saya punya dan yang bisa saya lakukan untuk kebahagian mereka.
22 Desember. Hari ini adalah dimana orang mengenal dengan istilah nama ‘hari ibu’. Dengan kesibukan tugas berjibun, akhirnya sempat juga menuliskan posting bout "mOm" ini. Bagi saya, hari ini segala yang kusimpan ingin kucurahkan seluruhnya padanya. Segala yang pernah kupinjam ingin kukembalikan pada tempatnya. Segala yang kuimpikan segera ingin kuwujudkan atas nama beliau. Dan segala yang kuinginkan diatas segala-galanya akan kupersembahkan untuk kebahagiannya.
Satu pinta saya, “Mami…tersenyumlah??”Benar-benar dari hatimu. Meski setiap hari saya tahu senyum itu ada, tapi saya ingin senyum itu karena mami tak menahan apapun di dalam sini (saya menunjuk sendiri ulu hati saya). Ataupun sekedar “senyum” yang mengingikan saya tenang dengan kondisi mami. Meski sebenarnya, disini (lagi-lagi) saya tahu isinya. Mami…..saya mohon….
Senyum itu…seperti senyum di awal Desember, malam paling indah yang pernah saya lalui bersama teman saya, saat bulan tersenyum ditemani dua bintang penunggunya. Dan saya nikmati betul tiap menit saat saya bisa mengingatnya, bersama ibu saya tentunya. Saat-saat saya bisa mencium telapak tangannya, memeluk tubuhnya, hangat! Dan mengucapkan salam. “Mam, dias berangkat dulu. Ke Solo….”
[NB: sebelumnya saya pernah menulis di wordpress tentang "hormat-hormat yang lain", inilah maksud saya. Orang tua saya,, tak lebih dari itu. Aneh, kenapa orang yang membacanya, mengira yang tidak-tidak.]
Hari ini, tepat pengakuan itu akan dideklarasikan dari kami bertiga, tiang tegak yang terus berdiri mengelilingi benteng pertahanan ibu saya. “
Lovely yours,
Your son n 2 daughters,
[Agung, Uci, Dias]
subhanallah.. kasih ibu tak terkira.. tak tau bgmn bs membalasny.. pjuangan antara hdp n mati untk melahirkan kita... mengasuh kita sekalipun hati ibu tkadang luka tp beliau tetap tsenyum.. sy yqn ibu dias wanita yg hebat shg bs mendidik sosok shebat dias.. tetep semangat yaw dek :)
BalasHapus