21 Juli 2010

SAATNYA MENGABDI

Kehidupan ini seperti apa yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kehidupan saya saat ini adalah kehidupan yang tak pernah saya geluti sebelumnya. Berencana pun tidak. Tadinya saya memilih jurusan industri dan organisasi sebagai jurusan tempat magang saya. Namun, kondisi dan keberpihakan lah yang membawa saya hingga pada kondisi sekarang ini. Berada di rumah sakit dan menemui anak-anak yang selalu saya sukai. Namun, kondisi mereka yang tak pernah saya bayangkan betapa tegarnya mereka meski badan tak se-sempurna manusia sehat pada kebanyakan orang yang beruntung.
sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Hospital_room_ubt.jpeg

Pagi menjelang siang, mengantarkan saya pada ruang beraneka mainan tempat terapi bermain di gelar. Seperti biasa, ada anak-anak yang mulai menjelajahi ruangan ini dan memilih mainannya masing-masing. Observasi dan sedikit interview adalah alat saya di dalam sini. Mencatat beberapa fenomena adalah kondisional yang saya bentuk sendiri.

Dani (bukan nama sebenarnya) memegangi tangan kanannya berbalutkan kain perban, jarum tebal tertancap di dalam kulit putihnya. Tangan mungilnya memegangi tangan sang ibu sambil sesekali merengek manja. Kondisi lemah membawa emosi pada situasi tidak stabil. Jarum yang menancap di tangan kanannya tak ia hiraukan, serasa begitu tak sedang sakit, rupanya. Dani sempat menolak betapa pahitnya obat yang harus ia minum setiap hari. Kakinya berjalan perlahan dari kamar nomor tiga hingga memasuki ruang terapi bermain. Wajahnya sembab memerah-bendera jika ibunya tak lagi berada di ruangan itu, meski untuk sebentar bersujud syukur waktunya sholat dhuhur datang, Dani tetap merengek seakan ditinggal ibunya jauh-jauh. Saat itu juga, ketika ada kesempatan, saya mendekat ke arah sang ibu dan bertanya, “Dani sakit apa bu?”.

“Leukimia….mba….”

Senyap. Saat itu juga saya menyesak tak kuasa menahan desakan air meluap. Tertahan dipelupuk kedua mata saya. Tertahan dan tak bisa keluar dari area ini. Seperti telah menguap. Ya Allah, anak sekecil ini harus di kemo rutin. Betapa kesehatan itu selayaknya anugrah yang mesti kita syukuri. Anak sekecil ini telah membiasakan diri dengan obat dan infus, Subhanallah.


Siang menjelang sore, di lain hari yang terus ramai di poliklinik tempat saya magang. Suatu ketika telepon berdering dan psikolog yang berjaga sedang tidak ada ditempat. Saya dipercaya menerima telepon dari bangsal lain, rupanya rujukan konsultasi untuk pasien PICA. Saya menerima dengan nada datar dan hanya mengungkapkan bahwa konseling tidak bisa dilakukan hari ini karena Bu Ira (bukan nama sebenarnya) tidak sedang berada di tempat. Akhirnya pertemuan pun di atur untuk keesokan harinya.

Keesokan harinya, saya melewati jalur koridor yang tak biasanya. Memasuki ruang khusus yang tidak semua orang bisa melewatinya. Saya lihat, Bu Ira memencet beberapa tuts kode rahasia untuk memasuki ruang tersebut. Ditekan berulang kali tanda ‘pip’, pintu belum juga terbuka, hingga akhirnya perawat dari dalam ruang tersebut membantu membukakannya. Masuk pintu pertama, belokan di sayap kanan, kami sampai pada ruang pakaian khusus. Saya diminta mengenakan pakaian khusus berwarna pink dan alas kaki khusus yang menjamin sterilnya diri saya. Dilanjutkan mencuci tangan dan mengeringkannya dengan tisu steril ala rumah sakit ini. Langkah perlahan kian pasti. Searah jam dua belas, sebelum belokan ke kanan, kami berhenti pada sebuah ruang besar yang didalamnya terdapat sosok kecil dengan perban penuh menutupi kedua kaki dan tangannya. Si anak hanya diam melihat dirinya dibersihkan oleh kedua wanita yang belum kita ketahui siapa mereka. Yang pasti seorang di dalam sana adalah suster/ perawat. Beberapa berkas yang menyatakan tentang diri anak tersebut mengungkapkan bahwa Ben (bukan nama sebenarnya), terluka pada tangan kiri dan paha kanan karena tersengat arus listrik bertegangan tinggi ketika bermain layangan. Lengan kiri sampai pada batas whirst menyebabkan luka pada jaringan di dalam tangan terlalu parah, hingga akhirnya Ben harus diamputasi dan operasi besar tersebut berlangsung sejak dua minggu yang lalu. Sejak saat itulah, Ben menjadi sosok yang lebih pendiam dan kurang bersemangat. Hingga akhirnya dari pihak bangsal PICU menghubungi pihak psikolog tumbuh kembang anak dan sampailah kami pada pertemuan ini.

Bu Ira menyilahkan saya untuk berbincang langsung dengan Ben. Sedangkan Bu Ira memberikan konsultasi khusus bagi sang ibu. Di sinilah kemampuan saya di uji. Enam semester kuliah di jurusan yang saya geluti saat ini, apakah saya mampu membuat Ben tersenyum? Atau setidaknya mengucapkan sepatah kata dan mau berbincang dengan saya? Atau ia masih terpaku dengan kondisinya dan menjadi kesulitan bagi saya untuk membantu memulihkan suasana hatinya? Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan….

Pertama kali bertemu, saya kikuk. Saya melihat sekeliling. Sangat tertutup, termasuk tubuh Ben yang tak terlihat sama sekali kecuali dari leher ke atas. Termasuk lukanya setelah di amputasi. Karena jika itu terlihat, maka saya lebih tidak tega dan kikuk di dalam sana.

“Pagi Ben…” saya tersenyum menyapanya. Ia membalas senyuman saya. Tak terduga, rupanya Ben menerima keberadaan saya dengan hangat. “Bagaimana tidurnya, semalam nyenyak?”

“Iya…”, Ben menjawab singkat dan saya tidak memaksanya bicara lebih banyak kata. Saya pun tak berani membahas mengenai peristiwa naas yang membawanya hingga pada pembaringan saat ini. Atau membahas tentang kondisi sekolah yang sangat ia rindukan. Speechless, saya. Tuhan…..apa yang harus saya katakan?

Kata demi kata terangkai dan tibalah kami pada sebuah percakapan beberapa menit hingga akhirnya ayahnya datang dan situasi pun lebih melunak. Saya mencoba melakukan pendekatan kepada Ben, agar ia mau bercerita mengenai suasana hatinya. Dari situlah saya tahu bahwa ia sangat merindukan dirinya yang sehat dan dapat bersekolah kembali. “Saya tahu Ben, itu sulit, tapi ada banyak hal yang sulit itu menjadi mungkin. Mba berharap, Ben kuat dan tabah ya? Karena ini bukan akhir dari segalanya. Ben masih muda dan punya banyak hal yang masih bisa diraih….” Saat itulah saya melihat wajah Ben sedikit mengembang dan sedikit memancarkan sinar pengharapan baru. Lekas sembuh, Ben. 

2 komentar: