Lain ceritanya tentang sejuta senyum anak-anak SD Gedangan 2 Boyolali. Anto, Deni, Parto, Agus dan Bono bermain di pelataran sekolahnya. Tempat tertinggi dari daerah yang bernama Gedangan. Berlarian saling mengejar satu sama lain. Si Bono lewat di depan saya dan saya tersenyum padanya. Dia bingung dan balik berlarian, membaur bersama teman-temannya. Kini, ia mengambil bola di ruang orahraga dan ditendangnya bergantian dengan anak yang lain. Anto mulai kelelahan dan duduk di depan saya beralaskan pasir dan debu kaki. Disusul kemudian Deni, Parto dan Agus, Bono belakangan. Semuanya menilik ke arah saya dan saya balas dengan senyuman. Kesan pertama yang saya tangkap dari reaksi yang mereka berikan adalah diam inocent. Kedua bingung. Ketiganya lebih bingung ketika saya terus tersenyum setiap kali mereka menilik ke arah saya di sela-sela percakapan mereka. Percakapan mereka yang sarat dengan lekak-lekuk bahasa Jawa. Dan saya suka mendengarkan mereka, memperhatikan cara mereka tersenyum, memperhatikan cara mereka menimpali temannya yang tidak bisa mengikuti permainan mereka dan tingkah laku mereka yang lucu. Saya berusaha memasuki dunia mereka, sarat dengan kepolosan dan kesantunan.
Saya mulai mendekati mereka dan berkata, “Adik-adik…mau ga, mba ajak bermain?”. Alih-alih mulut ini menggunakan bahasa yang biasa saya pakai. Spontan tersentak ketika mereka menjawab, “Purun, mba…” Jleb! Saya langsung menyadari ada dua kontak bahasa yang berbeda diantara kami. Dan tidak baik jika dibiarkan berkelanjutan, maka alih-alih belajar bahasa Jawa, saya coba sekenanya menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. “Ayo…kenalan se’, yo…, mba iki…biasane diceluk’e Dias…hayo sopo?” “Mba Dias…..”, kontan mereka menjawab sangat bersemangat. Sangat menyenangkan berinteraksi dengan mereka. Santun, polos, ceria dan terbuka. Mereka ini…yang saya bilang harapan nusa, bangsa dan negara.
Satu per satu mulai saya ajak menyebutkan nama mereka dan mengejanya. Satu orang saja yang saya lihat kesulitan mengeja namanya sendiri. Keempat lainnya sahut-sahutan ingin membantu, tetapi saya acungkan jari telunjuk saya di depan mulut dan berujar, “Ssst…hayo…ben Bono dhewe’ yo sing njawab pertanyaane mba’e…yo?”. Yang lainnya dengan semangat menjawab “Hee’eh, mba….”.
Berulang kali Bono menyebutkan namanya dan tidak bisa lancar. Meski begitu, saya tetap ingin membantunya mengeja namanya sendiri. Wajar saja, ternyata Bono itu masih kelas 1 dan keempat lainnya kelas 2. Tentunya, saya akan mempertimbangkan lagi jenis permainan yang bisa dengan mudah dipahami oleh anak-anak kelas 1 dan 2. Yang pada dasarnya pola karakteristik mereka tidak berbeda jauh dengan rentan umum tergolong hampir sama. Meskipun Bono nampak paling diam diatara yang lain dan lebih banyak senyam-senyum ketika saya tanyai daripada menjawab. Namun, dari dia saya belajar bahwa tersenyum adalah hal yang paling indah dan paling mudah kita lakukan disaat kita tak bisa berbuat apa pun. Dia lah si Bono yang saya kenal lucu dari puncak Merapi. Kelima anak ini yang membuat saya terus teringat pada tanah Boyolali yang subur dan suasana hijau yang asri. Di bawah rintik hujan yang membawa saya perlahan menjauh dari tempat itu. Splash! Yang selanjutnya membawa saya telah kembali ke dalam atmosfir Solo yang panas.
Saya mulai mendekati mereka dan berkata, “Adik-adik…mau ga, mba ajak bermain?”. Alih-alih mulut ini menggunakan bahasa yang biasa saya pakai. Spontan tersentak ketika mereka menjawab, “Purun, mba…” Jleb! Saya langsung menyadari ada dua kontak bahasa yang berbeda diantara kami. Dan tidak baik jika dibiarkan berkelanjutan, maka alih-alih belajar bahasa Jawa, saya coba sekenanya menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. “Ayo…kenalan se’, yo…, mba iki…biasane diceluk’e Dias…hayo sopo?” “Mba Dias…..”, kontan mereka menjawab sangat bersemangat. Sangat menyenangkan berinteraksi dengan mereka. Santun, polos, ceria dan terbuka. Mereka ini…yang saya bilang harapan nusa, bangsa dan negara.
Satu per satu mulai saya ajak menyebutkan nama mereka dan mengejanya. Satu orang saja yang saya lihat kesulitan mengeja namanya sendiri. Keempat lainnya sahut-sahutan ingin membantu, tetapi saya acungkan jari telunjuk saya di depan mulut dan berujar, “Ssst…hayo…ben Bono dhewe’ yo sing njawab pertanyaane mba’e…yo?”. Yang lainnya dengan semangat menjawab “Hee’eh, mba….”.
Berulang kali Bono menyebutkan namanya dan tidak bisa lancar. Meski begitu, saya tetap ingin membantunya mengeja namanya sendiri. Wajar saja, ternyata Bono itu masih kelas 1 dan keempat lainnya kelas 2. Tentunya, saya akan mempertimbangkan lagi jenis permainan yang bisa dengan mudah dipahami oleh anak-anak kelas 1 dan 2. Yang pada dasarnya pola karakteristik mereka tidak berbeda jauh dengan rentan umum tergolong hampir sama. Meskipun Bono nampak paling diam diatara yang lain dan lebih banyak senyam-senyum ketika saya tanyai daripada menjawab. Namun, dari dia saya belajar bahwa tersenyum adalah hal yang paling indah dan paling mudah kita lakukan disaat kita tak bisa berbuat apa pun. Dia lah si Bono yang saya kenal lucu dari puncak Merapi. Kelima anak ini yang membuat saya terus teringat pada tanah Boyolali yang subur dan suasana hijau yang asri. Di bawah rintik hujan yang membawa saya perlahan menjauh dari tempat itu. Splash! Yang selanjutnya membawa saya telah kembali ke dalam atmosfir Solo yang panas.
Cepogo, 4 – 6 Januari 2011 “Survivor Merapi, ketika anak-anak membutuhkan sentuhan psikologis”