07 Desember 2011
Thanks to All in My Life
03 Maret 2011
Hank
Buku merah pertanda keberanian. Buku ini berisi kisah seorang pengembara yang berbekalkan keberanian saja. Ia mengembara di hutan asing yang tak pernah di temuinya sebelum ini. Hutan yang lebat dan anggun. Tertutup karena rimbunnya pepohonan di dalamnya. Cahayanya sedikit dan tak berjejakkan manusia sama sekali. Hingga akhirnya pengembara itu datang dan menjejakkan kakinya untuk pertama kali.
Tibalah pengembara pada gubuk mungil nan cantik. Di dalamnya tertinggal secarik kertas. Bertandakan silang dan bertuliskan ‘help’.
Huifffffff. Jujur! Dua paragraph di atas saya paksakan. Otak ini saya peras se-peras perasnya. Kering tak membekaskan setitik air sama sekali. Entah ada apa dengan perasaan saya malam ini. Terlalu banyak hembusan angin yang menyesakkan dada. Kemarin, hari ini dan malam ini.
Tututan untuk lulus secepatnya, seperti mengejar keberadaan saya saat ini. Saya penat dengan otak seperti ini. Dan saya butuh tempat menitipkan lelah sementara. Biasanya selalu ada. Selalu ada di dekat saya. Di tiap deringan hp, di kotak-kotak inbox atau celotehnya di teras depan rumah. Rasanya dulu tak seperti sekarang. Disibukkan dengan pekerjaannya seabrek. Tuntutuan tanggungjawab yang selalu menuntun pulang malam. Membuat saya tak lagi merasakan tempat bersemayam seperti dulu. Ini hanya masalah timing, tapi saya yakin, isi otaknya sama seperti saya. Merasakan sesuatu yang ingin dijumpai segera.
07 Januari 2011
Sincerity and Innocence
Saya mulai mendekati mereka dan berkata, “Adik-adik…mau ga, mba ajak bermain?”. Alih-alih mulut ini menggunakan bahasa yang biasa saya pakai. Spontan tersentak ketika mereka menjawab, “Purun, mba…” Jleb! Saya langsung menyadari ada dua kontak bahasa yang berbeda diantara kami. Dan tidak baik jika dibiarkan berkelanjutan, maka alih-alih belajar bahasa Jawa, saya coba sekenanya menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. “Ayo…kenalan se’, yo…, mba iki…biasane diceluk’e Dias…hayo sopo?” “Mba Dias…..”, kontan mereka menjawab sangat bersemangat. Sangat menyenangkan berinteraksi dengan mereka. Santun, polos, ceria dan terbuka. Mereka ini…yang saya bilang harapan nusa, bangsa dan negara.
Satu per satu mulai saya ajak menyebutkan nama mereka dan mengejanya. Satu orang saja yang saya lihat kesulitan mengeja namanya sendiri. Keempat lainnya sahut-sahutan ingin membantu, tetapi saya acungkan jari telunjuk saya di depan mulut dan berujar, “Ssst…hayo…ben Bono dhewe’ yo sing njawab pertanyaane mba’e…yo?”. Yang lainnya dengan semangat menjawab “Hee’eh, mba….”.
Berulang kali Bono menyebutkan namanya dan tidak bisa lancar. Meski begitu, saya tetap ingin membantunya mengeja namanya sendiri. Wajar saja, ternyata Bono itu masih kelas 1 dan keempat lainnya kelas 2. Tentunya, saya akan mempertimbangkan lagi jenis permainan yang bisa dengan mudah dipahami oleh anak-anak kelas 1 dan 2. Yang pada dasarnya pola karakteristik mereka tidak berbeda jauh dengan rentan umum tergolong hampir sama. Meskipun Bono nampak paling diam diatara yang lain dan lebih banyak senyam-senyum ketika saya tanyai daripada menjawab. Namun, dari dia saya belajar bahwa tersenyum adalah hal yang paling indah dan paling mudah kita lakukan disaat kita tak bisa berbuat apa pun. Dia lah si Bono yang saya kenal lucu dari puncak Merapi. Kelima anak ini yang membuat saya terus teringat pada tanah Boyolali yang subur dan suasana hijau yang asri. Di bawah rintik hujan yang membawa saya perlahan menjauh dari tempat itu. Splash! Yang selanjutnya membawa saya telah kembali ke dalam atmosfir Solo yang panas.