11 Oktober 2010

Entah Deh

Konsep seperti apa yang menjadikan hidup ini adalah jalan kita yang memang kita inginkan. Kadang berkutat pada masa depan. Menyelinap sendiri dari masa lalu yang entah datangnya dari mana hingga tak sanggup lagi melupakannya. Kadang merasa sendiri atau sepi di keramaian. Kadang merasa berjuta orang menemani tapi tak tulus. Atau ada seseorang yang benar-benar ada dengan sebuah kata “tulus”.

Listen! Satu paragraf di atas adalah sebuah 'keluputan'.  Entah berakar dari mana hingga tumbuh kata-kata seperti itu. Saya pun tidak tahu ingin mengarahkannya kemana. Namun, tangan ini terus bergerak hingga mencapai ketidaktahuannya.  

Morli! Nama apa itu? Entah… saya juga bingung. Ini 'keluputan' kedua. Menuliskan nama si empu, yang ga tau mau diapakan. Lahir dari mana hingga membesar entah kemana arah tujuannya.

Atau si Morli itu teman saya yang sangat menyebalkan dengan hidung pesek dan gaya celamitan? Bukan juga. Atau si Morli itu tetangga saya yang baru jatuh dari aksinya sok lompat tinggi di tali jemuran. Upz, kalau yang ini adalah pengalaman saya ketika saya terpilih jadi atlet lompat tinggi zaman SMP dulu. Saking semangatnya, saya berlatih di tali jemuran. Dan alhasil, terpental lah saya 2 meter dari ketinggian. Badan pegal-pegal dan membiru. Untungnya, tidak sampai patah tulang.

Ternyata bukan juga. Dan saya lelah mencari Morli yang dimaksud. Ow ya, sepertinya Morli ini adik mungil yang saya temui di sebuah salon kemarin. Kulitnya putih, badannya kecil mungil, pipi bulat dan tengak-tengok ketika di potong rambutnya. Alhasil ia menjadi si Morli berponi lucu. Aduh, betapa lucunya si Morli itu. Ketika dia pergi, si mama menyuruhnya keluar dari salon dan memanggilnya, “Nadia..ayok pulang.” Beuh, ternyata bukan juga.

Saya tahu, saya tahu. Si Morli itu teman saya yang semalem curhat dari a-z hingga saya terkunci di luar kos-kosan. Berdiri mematung sambil cemberut. Dan menelan ludah dalam-dalam. Sambil menangis dan mengurai derita meratapi kemalangan saya malam itu. “Saya terlantar.”, ujar saya malam itu. Karena saya tidak tahu harus merebahkan diri dimana untuk tidur malam itu. Sempat punya pikiran gila saat itu, saya bakar saja bunga kesayangan ibu kos dan berharap beliau keluar kos sambil marah-marah dan saya sedikit perlahan melangkah ke dalam kos.

Terserah deh, mau dimarahin, yang penting saya bisa masuk kos sebelum jam 9 berdentang. Karena sebentar lagi saya berubah menjadi upik abu yang disia-siakan kakak tiri saya. Beuh, kejauhan ceritanya. Setengahnya benar, setengahnya bulshit. Pembohong ulung atau penulis fiksi yang ga’ punya ide? Lagi-lagi si Morli yang saya maksud bukan dia. Saya jengkel dan mulai membolak-balikkan memori saya yang tertilap di lapisan terbawah pada rak kelupaan yang saya miliki.


Morli…Morli… Morli itu sahabat saya di Jakarta yang saya rindukan. Teman seperjuangan saya dari SMP hingga SMA dan akhirnya kita berpisah ketika dia diterima di sebuah lembaga elit di Jakarta dan saya nyungsep di sini. Di semak-semak belukar seperti orang hilang yang ga’ punya rumah. Alhasil ibu kos saya menemukan saya di emperan jalan belakang kampus dan memungut saya untuk menjadi penghuni salah satu kamarnya.

Kembali ke si Morli sahabat saya. Dulu sih bulat dan pendek. Lucu dan menggemaskan. Baik hati dan tidak pernah marah. Sabar dan penyayang. Satu lagi, hidungya besar. Sempat ia berkata pada suatu waktu di kelas zaman SMA dulu, “Yaz, kita kan hidungnya sama-sama besar. Kamu besar tapi mancung. Tapi ko lubang hidungku lebih besar ya?” pada saat itu juga saya ngakak (red:ketawa ngikik) tak tertahankan.

Yah, balik lagi ke si Morli sahabat saya ini. Sahabat yang ingin saya temui ketika saya pulang ke tempat asal saya. Sebelum lebaran ia datang ke rumah dan hanya menemui ibu saya. Selepas saya pulang, giliran saya menghampiri ke rumahnya. Baru niat sey, baru short massage service, ia sudah berujar, “Besok mau pendadaran, Yaz.” Ibarat sudah jatuh, nyungsep juga di comberan. Saya tidak bisa menemuinya dan hanya smsan ga penting yang akhirnya memupuskan keinginan saya untuk menceritakan curhatan ga jelas kepada sahabat saya itu.

Dia ambil D3 dari sebuah lembaga ikatan dinas elit di Jakarta dan sudah hampir tuntas masa studinya. Saya pun berpikir, kapan saya menyusul ya? “Secepatnya….”, teriak saya sekencang-kencangnya. Tapi setahu saya, sahabat saya itu, belum mengubah namanya menjadi Morli. Huruf depannya a dan belakangnya g. Jadi selama ini saya berhalusinasi kalau itu si Morli yang saya maksud. Huf, susah juga cari si Morli.

Beruang kecil di tempat tidur saya tiba-tiba berbisik, “Ouh, si Morli itu kan sister, Yaz.” “Iya..iya…betul juga kau bilang.” Si Morli itu kakak saya yang tanggal 3 Oktober kemarin baru ulang tahun dan saya belikan sandal modish yang tak pernah ia pikirkan selama ini. Jadi ceritanya begini. Kakak saya yang sering saya panggil sista itu, bukan kusta atau nista, ulang tahun minggu lalu. Saya bela-belain pulang dari perjalanan 6 jam menerpa lelah dan gelisah. Beuh, kayak mau perang aja. Saya tidak perlu bingung-bingung memilihkan kado yang cocok dan lagi dibutuhkan sista saya itu. Kakak saya ini jaman dulunya tomboy abis. Baru setelah ia ditemukan suami yang menyayanginya kini, ia berubah sedikit feminim dan baik hati. Tapi ya…tetap saja hal-hal kecil seperti sandal, pakaian, atau hal-hal yang berbau modish sering ia lewatkan. Ia menggunakan apa yang ia butuhkan saja. S

Sampai akhirnya lebaran kemarin ia pergi ke acara keluarga di tempat mertuanya dengan sandal japit. “Aduh…sista…sista…ko ga’ beli sandal sih. Bukannya sekarang udah jadi juragan?” Dengan entengnya, sista saya menjawab, “Ga’ kepikiran dek.” Lalu ia beradu pandang dengan suaminya dan bertanya pada suami tercinta, “Abang, gpp kan pake sandal ini.” Dan dengan kesabaran dan penerimaan yang sangat tulus dari sang suami. Kakak ipar saya itu mengangguk dengan bahagianya. Batin saya, “Aduh, sista ini…kan adeknya yang malu. Malu sama kakak ipar dan pastinya…keluarga dari kakak ipar di Bandung.” Tapi ya…bagaimanapun tomboinya kakak saya itu, ia tetap sista yang pintar dan asik diajak diskusi setiap saya ada masalah. Hanya satu tema yang saya takut mendiskusikan dengannya, that’s married in youngness. Hehehe, karena jujur, tuntutan keluarga mengarahkan saya untuk menyelesaikan studi saya S1 baru nikah. Duh, Gusti, bantu saya bersabar.


Ok, yang barusan ga’ penting. Kembali ke topik, kado kakak saya. Akhirnya, saya belikan saja sandal bagus dan modish yang cukup menguras kantong saya ini untuk kado terindah di tahun ini bagi sista. Namun, kening saya mengerut tiba-tiba. Barusan sista sms dan menyuruh saya ke Jogja hari senin besok. Saya baru ingat. Kalau sista saya itu, belum pernah dipanggil Morli. Paling pol juga Marni, bukan Morli. Kebagusan buat dia. Upz, peace, sista…hehehe.

Saya langsung memaki-maki si beruang kecil dan menyumpahinya tidak bisa tidur nyenyak selama ratusan tahun. Gara-gara dia saya hampir salah mencari orang yang bernama Morli. Dan saya hampir terjebak oleh rayuan mautnya yang menggelikan. Pantas saja begitu, karena si beruang ini juga terlahir dari sebuah cinta yang tak pernah saya duga selama ini. Peace bear. Dan ternyata saya salah sebut untuk kedua kalinya. Bukan ‘beruang’ tapi ‘panda’ maksud saya. Hehee, makin aneh kan tulisan saya. Karena berawal dari ketidakjelasan, maka berakhirnya pun dengan ketidakejelasan plus diare 7 malam bagi yang baca tulisan ini.