09 Agustus 2010

Last Week

Saya hampir menjajaki hari-hari terakhir saya di rumah sakit. Hampir usai menemani anak-anak yang lucu, polos (tanpa dosa), dan segudang harapan yang pasti mereka gantungkan di atas sana. Tinggi di sana, yang anak-anak katakan, disitulah tempat pelangi bersemayam. Burung-burung meliuk indah dan mengintip kita dari atas. Awan dan matahari adalah bukti wujudnya siang. Sayup-sayup bulan cantik menampakkan senyumnya menyapa kita tiap malam. Disanalah, pikir anak-anak.



Wajah tanpa dosa yang kian merajuk ketika mulai diperiksa dalam batas waktu lama. Anak-anak hanya dapat ditarik perhatian penuhnya untuk berkonsentrasi pada serangkaian alat tes psikologi tidak lebih dari satu jam, begitu tutur pembimbing lapangan kami. Anak-anak adalah dambaan tiap orang tua, harapan menggantung pada doa dan ikhtiar, atau sekedar anugerah manis mungil yang tersimpan manja di rumah masing-masing. Pilihan itu adalah masing-masing orang tua yang melatarbelakangi anak-anak ini akhirnya di bawa ke sini. Di saat kami di sini untuk mereka dan berkesempatan membantu mereka.


Rutinitas pagi ini tak berbeda jauh dengan sebelum-sebelumnya. Mengamati anak-anak, memberikan serangkaian tes (bila perlu), mewawancarai orang tua, berbagi cerita, atau sekedar mengamatinya dari kejauhan.

Empat hari sebelum off, adalah hari-hari berat, ketika saya harus meninggalkan mereka dan semangat saya mulai tergoyahkan. Sedikit muncul, tapi berbeda ketika melihat wajah mungil-mungil tanpa dosa, bahkan ketika mereka sudah dihadapan saya. Ada keinginan untuk selalu dekat dengan mereka. Loyo dan hopeless terhempas bersama angin lalu.



Pagi ini, sama seperti biasa. Ada pasien datang yang sebelumnya sudah datang ke poli tumbuh kembang ini. Sebelumnya saya belum memegang anak ini. Kali ini adalah giliran saya. Adek yang berinisial Z ini, duduk termangu bersama ibunya di lobby tumbuh kembang. Hingga saya dan Citra menghampirinya seraya tersenyum menyalami keduanya. Ibu tersenyum hangat membalas sambutan kami, lain halnya Z yang mulai khawatir dan takut. Wajahnya pucat bahkan menangis ketika akan diajak ke dalam ruangan psikologi. Citra mendapat bagian intake dengan orang tua, sedangkan saya, harus tergopoh-gopoh merayu si Z untuk mengikuti rangkaian tes Stanford-Binet.


Kesempatan pertama, saya mencoba mendekati Z, tetapi ia enggan. Jangankan menjawab pertanyaan saya, menatap saya saja, tidak. Lama, saya menunggu, menanti Citra selesai intake-interview dengan panduan VSMS (Vineland Social Maturity Scale), sebuah alat psikologi yang mampu mengukur kematangan sosial anak hingga dewasa (usia 30 tahun) melalui wawancara dengan pihak ketiga (orang tua, saudara kandung, atau guru). Jelas, saya fasih melafalkan jenis alat tes ini, karena baru kemarin saya diminta presentasi alat ini dihadapan teman-teman UNDIP.


Kesempatan kedua, si anak sudah mulai curi-curi pandang ke arah saya. Begitu saya lihat, ia kembali merengkuk malu dan tak ingin di dekati. Saya terus duduk di sampingnya, menanti hingga anak mau sedikit saja berbicara. Sejauh pandang penglihatan saya, si anak hanya menangis dan merajuk. Melempar-lempar sandal dan menggoyahkan keheningan saat itu.


Selesai intake, Citra menatap saya penuh kode “Gimana, Di?”. Saya pun membalas tatapan matanya, “Meneketehe, Cit. Ney anak sulit amat ya?”. Terakhir Citra membalas tatapan mata berkode saya, ia berujar dalam batinya, “Semangat ya, Di….hihihi ….:))


Saya kembali menatap dan mulai menyentuh punggung si anak. Mengajaknya bicara. Namun, justru tangisan yang saya dapat. Saya mencoba mengajaknya bermain, alih-alih menyogok mentalnya agar mau lebih menerima keberadaan saya dan setidaknya bisa saya ajak ngobrol. Karena tidak kunjung memberikan hasil, saya meninggalkan si anak dengan ibunya agar kondisi anak bisa sedikit tenang.


Kesempatan ketiga, saya mendatanginya di ruangan yang sama dan menanyakan, “Gimana, dek, sudah mau main dengan mba?”. Bagus. Bagus. Sudah ada kemajuan nampaknya. Ia mulai berani menatap saya. Dan saya yang berdiri, membongkokkan badan agar sejajar dengan sudut pandang anak. Baru mulai berharap, si anak sudah mulai menggeleng dan merajuk ke arah ibu. Mengeram dan menangis minta pulang. Oke…hari ini menyenangkan, guys.



Kesempatan berikutnya, saya menunggu di ruang sebelah dan menyampaikan kepada ibu, saya di ruang sebelah menunggu adek untuk mau bermain, setidaknya. Ibu mengangguk, dan menyampaikan bahwa sebenarnya anaknya takut kalau disuruh ke rumah sakit, karena trauma ketika epilepsinya kambuh dan mondok di rumah sakit, adek kerap kali dipaksa dokter, digenggam keras-keras, dan selanjutnya…cuzz…adek menangis setelah disuntik paksa sehingga ia trauma dengan orang baru. Got you, child. Jadi ini masalahnya. Akhirnya saya mencoba mengungkapkan bahwa saya bukan dokter dek, saya teman dokter dan tidak memiliki alat suntik. Yah, sedikit berpengaruh, tapi tidak signifikan, rupanya.


Adek mulai mengambahi ruangan saya meski dirinya tetap membisu seribu bahasa. Hanya mengeram dan merajuk. Marah-marah melempar sandalnya atau menendang-nendang apapun di sekitarnya. Saya terus mencoba mengajaknya bermain, dia tetap beraksi sama, menggeleng dan merajuk minta pulang.



“Baiklah, Bu, kalau adek tidak mau, nda apa-apa.”, ujar saya mengarahkan ibu. Selanjutnya saya menatap si anak, “Adek, ingin pulang? Boleh ko, tapi izin dulu ya sama mba. Adek bilang, mba, adek pengin pulang, gitu ya?” . Z tetap diam seribu bahasa dan mulai lagi dengan kebiasaaannya merajuk. Namun, justru surprise, adek mulai berkeinginan bermain dengan saya. Ia mulai mau mengikuti arah kaki saya dan sedikit rayuan, got you,child. Serangkaian aitem tes mulai saya jalankan. , tiba-tiba….”Dut!”. Suara macam apa ini? Ibu juga tertawa di belakang saya. Adek mulai enggan dan malu dengan saya. Hingga saya berujar, “Ga apa-apa dek.” Dalam hati saya, ney adek serius amat sampai membuat bom darat dengan dentuman super sonik. DUT. Jujur, saya menahan tawa saat itu. Tawa menyimpan hal ini menjadi sebuah kenangan bersama adik-adik lucu nan polos.