11 Februari 2010

Obat Pesakitan itu, Sang Adam

[Scene 1]

Usia 20. Tua? Tidak juga.

Muda? Lebih bisa dikatakan tidak karena masih banyak digit usia lebih muda dari Magma.

Berkah? Mungkin, Iya. Di tahun ini, entah mengapa Magma merasa diberi kado terbesar.

Berkah yang membawanya pada pengenalan lebih close up antara anak dan ayah. Sosok ayah baginya adalah seorang yang selalu akan ia hormati, bagaimanapun kondisinya. Memahaminya. Mengerti karakter beliau. Semua berawal dari kisahnya dan keluarganya.

Baru kali ini Magma merasa sangat dekat dengan ayahnya. Merasa memahaminya. Merasa mengerti keinginannya. Apakah Magma sudah cukup dikatakan dewasa? Ketika ia mencoba mempersepsikan sendiri penilaiannya tentang ayahnya. Mencoba tak menyalahkan tetapi mencari penyebabnya. Meski salah, tapi tak berarti dihakimi. Meski keliru, tapi tak berarti dimusuhi, bahkan oleh anak-anaknya.

Magma mencoba membaca pikirannya. Memahami setiap ucapannya. Keras tetapi sebenarnya kasih. Menyakitkan tetapi mungkin itulah kata yang terlontar karena rasa kaku beliau. Magma merasa terlalu dekat saat sedang membaca pikirannya. Terlalu ingin tahu apa yang sebenarnya beliau rasakan selama ini. Mencoba memahami sendiri, disaat yang lain berasumsi. Mencoba mengkritisi sendiri yang terjadi pada beliau di saat yang lain mengintervensi. Magma hanya ingin memberikan penilaiannya, dari pribadi yang telah dewasa. Sekedar belajar menilai objektif. Memberikan ruang untuknya di hatinya. Memberikan kesempatan yang tak terulang. Yang telah lama dikuburnya. Seperti duri dalam daging. Bukan karena ia benci, tapi karena sakit yang dirasa bundanya.

Ayah…

Familiar sebutan ini. Lekat dengan sebuah perlindungan. Seharusnya... Tapi bagi Magma, hanya sekecap ia merasa. Selebihnya…sakit. Inikah yang menyebabkan Magma tak ingin bergantung dengan orang lain, apalagi pria?

Segudang permasalahan masa lalu dengan sosok ayahnya, tak mengurungkannya untuk mengenal karakter pria, tapi tak pernah terbesit untuk takluk di hadapannya. Ingin menguji kesetiaan para pria yang berangsur mendekatinya setara dengan usianya makin beranjak, tapi tak pernah ingin mencintainya sebelum komitmen terjadi. Semua itu, berbau sadis. Karena ia lebih takut dari yang orang lain kira. Lebih tertusuk dari yang lain ketahui. Lebih memendam luka, dari yang lain bisa mengobatinya.

Sisi ini hanya sebagian dari kehidupan Magma. Ia tak ingin larut. Tak ingin goyah pada nista. Ia mencoba berdiri seperti tegarnya sang bunda mencontohkan keanggunannya. Ia mencoba bertengger disaat semua orang mampu dengan mudah menyibak rambutnya. Ia…adalah Magma yang terus bergerak. Pahit…tapi kokoh. Ia mensubstitusikan kekecewaannya dengan mengasihi anak-anak terlantar di YPAB (Yayasan Penampungan Anak Bawah 5 th). Melihat langsung kondisi memprihatinkan nenek tua renta di Panti Jompo. Membantu mengerjakan PR untuk adik-adik manis yang kadang juga nakal di Serengan. Semunya, menjadi manis, antara gula dan kopi. Antara kehidupan pahitnya dengan manisnya kasih sayang yang ia toreh untuk orang lain.

Magma hanya ingin mencintai ayahnya apa adanya. Namun, terkadang hal lain muncul hingga membuatnya seperti terpaksa mencinta. Karena rasa ‘sakit’ terkadang menjadi cambuk tersendiri dalam proses ini.

Tuhan….

Sampai saat ini, Magma masih menyimpan luka dari cerita lama yang terus mendongengi Magma tiap tidur. Kisah sendu yang terus menerus menguras air mata bundanya. Sakit sang bunda adalah sakitnya juga. Kisah nyata yang tak pernah didengar oleh kehidupan nyata di sekeliling mereka.

Tuhan…

Inikah sebuah pilihan ketika Magma tahu bahwa Magma beranjak dewasa dan sudah saatnya memahami karakter sang adam lebih jauh? Inikah saatnya Magma mengenal seorang pria yang menjadi pendamping hidupnya? Di saat ia belum sembuh betul dari luka yang sekian tahun bersemayam dalam hatinya? Sanggupkah Magma menerima seorang pria untuk menemaninya sepanjang hidup ketika ia sendiri masih terlalu takut dengan kisah masa lalu sang bunda? Dengan kisah penghianatan?

Magma melihat luka menjalar dimana-mana pada diri sang bunda. Saat itu, Magma masih terlalu kecil dan tak mampu mencegahnya. Hanya bisa membalut luka sang bunda. Semua…terjadi… sebelum Magma dewasa. Kini, tinggal luka yang tersisa. Tapi hidup, masih akan terus berputar dan menjadi sejarah kehidupan berbeda dalam diri Magma. Sebuah alur kehidupan yang membawa Magma akhirnya tumbuh menjadi sosok yang kokoh.

Segala pilihannya adalah berkiblat pada masa lalunya. Ia sangat hati-hati memilih pria di sekitarnya. Sedikit ada rasa takut untuk dikhianati. Baginya, lebih baik kehilangan cinta sekarang juga, jika ada indikasi penghianatan. Daripada manis sekecap tapi sekecap pula hilangnya. Karena Magma belajar dari setiap keadaan yang menimpanya. Bertahun-tahun ia tumbuh dalam cerita duka yang selama ini dipendam oleh bundanya seorang diri.

Inikah alasan Magma terkadang memandang sang adam terlalu sangat rentan dengan sebuah kata ‘kesetiaan’? entahlah…

Memutuskan sekolah di luar kota adalah pilihan Magma sendiri. Mencari nuansa baru yang tak pernah Magma temukan di kampung halaman. Mencari realitas kehidupan yang sebenarnya dari diri sang adam. Terus. Dan terus mencari alasan, dari apa yang ia alami. Apa yang sebenarnya sang adam cari dari sebuah hubungan? Apa yang sebenarnya membuat mereka berpaling? Semua itu…ingin ia pelajari meski belum penuh betul ilmu yang dimilikinya. Rasa penasarannya bersumber dari satu kalimat: “kenapa kisah ini bisa terjadi?” Karena semua berjalan seperti dongeng pengentas malam.

Kepergian Magma adalah untuk menyelami apa yang belum Magma ketahui tentang pria. Jarak jauh yang harus ia tempuh adalah pemahamannya kepada sosok terhormat, sang ayah. Ia tak ingin begitu saja larut. Hingga luka dalam daging ini terus mengakar. Terinfeksi oleh dendam yang seharusnya tak bergelanyut terus-menerus. Meski terluka pada apa yang terjadi. Setidaknya ia sudah tumbuh dewasa. Hingga bisa lebih bijaksana dalam menilai. Menelaah segalanya dari akar permasalahan.

Kaca kehidupan lain, membawa Magma pada sosok dengan karakter memukau. Di tengah perjalanan ia dihadapkan oleh pemandangan yang berbeda sama sekali. Sosok adam yang berbeda dengan ayahnya. Jauh berbeda. Tiba-tiba saja ia terjangkit dari pesakitannya. Tiba-tiba saja, baru pernah merasa yang satu ini. Merasa nyaman jika adam yang satu ini berada di dekatnya. Awalnya saja, ia meragukan niatan adam untuk mendekatinya. Magma terus memberikan perlakuan menantang bagi sang adam. Segala hal yang pria tidak sukai. Anehnya, adam ini malah makin tertarik dengan sikap Magma yang angkuh dan menjaga jarak.

Dialah yang menerobos dinding keangkuhan Magma sebagai seorang wanita yang kata orang terlalu “dingin”. Bukan itu maksud Magma. Magma hanya pernah dikecewakan. Magma melihat sendiri betapa sakit dan perih tak tertahan pada hati bundanya. Dari situlah Magma tahu, bahwa korban atas tak kesetiaan seorang pria adalah “pahit”.

Di persimpangan hidup, ia bertemu dengan seorang yang mampu memapah pundaknya, terlalu berat untuk seorang Magma. Ujung tak terduga dari sosok yang mampu mengobati sedikit demi sedikit, apa yang telah menjadi luka pada dirinya. Ia bersyukur penuh syukur dan nikmat.

Inilah anugrah Tuhan. Yang dikirim untuk menemani sepi pada dirinya. Tempat bercurah untuk setiap asa yang tak sampai. Untuk setiap tuntutan yang tak pernah orang tahu, kecuali dia. Untuk sebuah harapan baru di depan mata Magma memandang ke seberang.

Dunia boleh banyak menawarkan sejuta pria padanya. Namun, baginya, pelabuhan itu hanyalah ada satu. Di situlah ia menyerahkan hatinya. Memberikan seorang tahta atas nama kepercayaan. Segala yang ia lakukan adalah sebuah tanggungjawab atas hati yang dilabuhkannya.

Tahun ini Magma diberi kesempatan melihat kenyataan bahwa tak semua adam seperti itu. Ada dari mereka yang tulus dengan limpahan kasih sayangnya, pengorbanannya, dan kesetiaannya. Magma mencoba mengenal dari bilik kehidupan Magma yang pernah menjadi luka, dengan sudut pandang yang berbeda, tentunya. Dia mengobatinya perlahan. Memberikan Magma tuntunan, bukan sekedar tontonan. Darinya, Magma tahu arti sebuah keluarga, cinta, dan kesetiaan.

Tadinya, Magma memandang adam sebelah mata. Bukan karena picik menganggap mereka buruk hati. Namun, sebelah mata karena Magma takut memasuki kehidupan mereka lebih memusat pada nafsu semata. Itulah persepsi awal bagi Magma. Sang adam hanyalah melampiaskan rasa penasarannya pada wanita. Setelah itu…lessness.

Kini, mata Magma mulai bercelah. Batin Magma mulai terbalut dengan kasa lembut pemindai luka paling ulung. Semua itu berhasil dilakukan adam, yang tadinya dipandang sebagai pesakitan. Kini, obat bagi dirinya.