Tahun pertama adalah tempaan bagi si hati untuk belajar banyak hal di dalamnya. Sebatas anak bau kencur yang sok akrab dengan hati…hati…yang jauh lebih tua dan berpengalaman dengan si hati ini. Hati tak risau, ketika ia menemukan lingkungan yang berbeda ketika di rumahnya dulu. Ketika SMA, rumahnya yang dulu jelas menampakkan perbedaannya dengan rumahnya kini. Namun, hati ini tetap melabuhkan dirinya pada tempat ini meski berbeda dengan rumahnya yang dulu karena hati menyadari satu hal. Hati ini akan menemukan kebaikan di dalamnya.
Hati tak pernah pilih hati lain untuk diajaknya berdiskusi dan belajar banyak hal dari hati yang lain. Hati ini terus merajuk ingin menjadi keluarga di dalamnya. Meski konsekuensinya, ia harus beradaptasi dengan style dan adat baru di rumahnya yang baru. Hati tak pernah gentar untuk memasuki dunia barunya. Meskipun berbagai perasaan berkecamuk di dalamnya. Antara hati yang beradaptasi dan hati yang telah melahirkan dirinya sejak dulu. Hati ini, toh, akhirnya memilih menjalani proses adaptasinya. Ia menjadi hati yang sangat penurut. A bilang A, si hati turut katakan A. B bertingkah B, si hati pun turut pada tingkah B. Yaw, seperti anak ayam yang akhirnya menemukan jalan membersamai induknya.
id.inter-pix.com
Ia tetap menjadi dirinya sendiri karena ia tak ingin menjadi orang lain untuk mendapatkan apa yang orang-orang cari sebagai need of achievment. Ia tak ingin mendapatkan sesuatu yang biasanya dicari oleh orang-orang di rumah barunya dengan melakukan apa yang belum ia yakini betul. Apalagi bergerak pada layar di belakang. Pada layar yang ber-title-kan pada adat tertentu. Seperti sebuah aturan adanya.
Kebaikan itu memang ada dalam aturan itu, tapi terkadang orang harus memilih untuk tetap berada dalam role atau sedikit ambil jalur lain. Aturan ini seperti koridor yang menentukan jalan kehidupan hati pada masing-masing individu. Terlepas dari segala norma dan tata nilai yang berlaku di dalamnya. Pilihannya hanya dua, taat atau sedikit ambil jalur. Kemudian mundur perlahan, karena hati ini tahu orang lain menganggapnya keliru. Meski tanpa sadar, sebenarnya pun mereka pernah atau bahkan sempat hampir melakukan apa yang mereka kata ‘keliru’.
Kekeliruan ini bagi hati yang merindu rumahnya, seperti bola yang terus menggelinding pada kisaran tendangan corner. Situasi menyudutkan. Hingga hati ini perlahan mundur dan mencari rumah-rumah baru lainnya. Rumah yang bisa menerima dirinya dengan sepotong ‘keliru’ kata orang yang berada di rumah itu.
Kekeliruannya adalah sebuah pilihan. Kekeliruannya adalah kondisi yang menurutnya adalah sesuatu yang menjadi jawaban atas kesulitannya. Kesulitan yang hanya dirinya dan pilihannya ketahui. Kesulitan yang disangoninya sejak sekian tahun lalu. Sebuah dilema yang tertutup rapat oleh puing yang tak pernah dimengerti orang lain. Hati ini memiliki sesuatu yang membuatnya memilih pilihannya sendiri. Meskipun berat, karena konsekuensinya adalah hati ini akan terdampar. Terasing atau terpaksa mengasingkan diri dari rumah itu. Perlahan-lahan, dengan cara yang tak pernah nampak tapi terasakan.
Orang lain hanya tahu, bahwa hati ini telah salah memilih. Memilih situasi yang membuatnya mundur dari role yang dibuat oleh rumahnya kini. Tapi hati ini hanya menyadari satu hal, pilihannya adalah bagian dari hidupnya. Bagian dari hidupnya adalah tanggungjawabnya. Tanggungjawabnya adalah konsekuensi logis dan psikologis yang akan diterimanya. Hati tak akan lari dari realitas dengan pilihannya. Ia mengetahui sejak awal ini akan terjadi meski perlahan pada latensi tertentu.
Ada hukum alam yang berkata di dalamnya. Inilah konsekuensinya. Konsekuensi logis, dia dianggap si hati penyimpang. Tanpa pernilaian arif dari yang melatarbelakangi semuanya. Hati yang lain tak akan pernah ingin mengetahui latar belakang dari pilihan ini. Konsekuensi psikologisnya adalah sebuah kondisi bagi hati ini untuk mundur perlahan dari di rumah itu. Meski sangsinya, ia dianggap tak bersemangat lagi. Padahal jujur, hati ini telah lahir dari hati yang terbakar bersama keluarganya dalam api menggelora. Dan masih tersimpan hingga tetaplah nampak seperti api di kala kabut menyelubunginya. Masalahnya adalah hati lain yang melihatnya dengan kaca mata berbeda. Sudah dibumbui oleh sesuatu yang menjadi perspektif mereka sendiri. Bahkan hati ini tak kuasa mengatakan A jika itu perlu. Atau B jika itu benar yang seharusnya dikatakan. Hati…..hati yang seharusnya lebih bijak hanya mampu berspekulasi dengan keadaan saya. Pedih rasa hati ini. Hanya pedih.
Rumahnya kini, tak pernah membuat dirinya lelah untuk belajar banyak hal. Berbincang dengan banyak orang tentang sesuatu yang tak terduga oleh hati ini. Hati ini senang menerima pengakuan dari orang-orang di rumahnya, bahwa dirinya termasuk dalam label ‘rumah yang tak akan pernah diam’. Menjadi bagian keluarga besar di rumahnya kini adalah kebahagiaan yang tak ia temukan lagi. Menjadi bagian yang kini dirindukan olehnya. Merindu karena telah lama meninggalkan rumah itu. Merindu karena tiba-tiba dirinya merasa tak diakui oleh keluarga tercintanya. Rumah itu perlahan menjauh dari pandangannya. Perlahan memutar diri menatap hati ini seakan bersimbah lumpur yang tak enak didekati. Bahkan dijadikan bahan perbincangan yang mungkin menyakitkan di dengar, pahit dirasa.
Sakit dan pahit ini adalah konsekuensinya. Tanggungjawab bagi si pemilik hati. Ketika hati pasrah, disitulah pilihan berpijak. Pilihan membawanya pada penghidupan yang bervisi ke depan. Visi yang tak akan hati ini sesali. Namun, dibalik semua itu, ia menyesali satu hal. Ia menyesal baru menyadari. Menyadari bahwa mungkin keluarga ini bukanlah rumah yang ia cari. Bukanlah rumah yang tepat baginya. Karena terbukti, rumah itu tak bisa menerima hati ini yang telah memilih sendiri. Pilihannya yang dianggap noda bagi rumah itu. Hati ini justru menganggapnya sebuah penghidupan. Penghidupan yang berorientasi ke depan dan berperngharapan pada sebuah kebaikan. Meski diakui caranya keliru. Namun, keadaan benar-benar di luar kehendaknya. Ia telah berusaha mengikuti arus yang tenang dan sesuai alurnya.
Pilihan ini adalah kondisi tersulit bagi hati ini. Pilihan ini adalah konsekuensi logis dari sisi kehidupan hati yang tak pernah diketahui orang lain. Pilihan inilah yang sebenarnya membawa hati pada kehidupan baru. Hati ini memilih karena mengharapkan kebaikan di dalamnya. Namun, keluargaya tak mampu menerima dirinya apa adanya, hingga hati ini harus perlahan-lahan mundur dan mengucilkan diri.
Hati ini ingin berkata, maaf, jika ada yang merasa disakiti oleh hati yang tak pernah sempurna dan kadang luput. Maaf, jika hati ini mengecewakan banyak pihak yang membesarkan hati ini. Maaf, jika hati ini terlalu naïf untuk mengakuinya. Maaf, karena hati ini memiliki kinerja yang berbeda dari sebelumnya. Bukan karena hati ini lelah atau tak bertanggungjawab, tapi hati ini tak kuasa menahan perbedaan yang lekat pada dirinya dengan adat-adat yang dipampang pada dinding rumah itu. Maaf…
Kini kerinduan itu datang. Rindu ketika hati ini bergerilya begitu cepat kesana kemari untuk sebuah misi yang menyejukkan hati. Tempat dimana hati ini bisa mengenal dunia luar dengan berbagai kondisinya. Kondisi beliau tua renta yang bersemayam di sebuah panti jompo. Kondisi adik-adik lucu yang berseteru mesra dengan adik-adik yang lain di sebuah yayasan penampungan. Kondisi teman-teman kita yang memiliki kemampuan luar biasa dengan keterbatasan kondisi fisiknya. Kondisi adik-adik yang haus sentuhan pembelajaran di sebuah desa binaan. Hati rindu. Merindukan masa-masa itu.
Ketika hati ini rindu, ia melewatkan kesempatannya yang kedua. Tahun kedua ia berada pada pilihan yang akhirnya membawanya mundur perlahan. Ia hanya berorientasi mempertanggungjawabkan pada proker dan pekerjaan semata. Rasa kekeluargaannya tiba-tiba menjauhinya perlahan. Tiba-tiba merasa dikucilkan. Inilah yang dikatakan konsekuensi psikologis bagi hati ini. Hati ini tak pernah gentar. Hati ini tak akan menyesali pilihannya.
Hati ini akan tetap memberanikan diri menanggung konsekuensinya. Karena hati meyakini sudah saatnya ia menentukan jalan kehidupannya. Hati ini meyakini bahwa kedewasaannya adalah ketika ia mengetahui apa yang ia butuhkan dan mempertanggungjawabkan konsekuensi sosial yang tidak menerima dirinya memilih pada pilihan ini. Hati ini mencoba menguatkan diri untuk lebih tegar. Karena hati ini menyadari, di keadaan terpuruk lah ia bisa mencari keluarga yang benar-benar ‘keluarga’ baginya.
Keadaan terpuruk inilah yang akan membantu ia menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya apa adanya. Bukan semata karena potensinya dan ingin memanfaatkannya. Bukan semata karena dipilih untuk menjalankan misi di balik layar. Keadaan inilah yang membuatnya menyadari bahwa keluarga adalah perseteruan orang-orang yang memahami keadaannya dan menerima apa adanya. Bukan memahami kemampuannya dan menerima apa yang dibutuhkan dan bisa dimanfaatkan semata.
Biarkanlah hati ini menghela napas sebentar. Sekedar menghembuskan sesak terasa yang tak kunjung berkibas. Perasaan sesak ketika hati ini merindu tetapi sebuah plang ketidak mungkinan menuntun pada alur kehidupan melankolis dramatis. Karena pilihan yang ia buat adalah jalan yang berbeda dengan kerinduan yang mengundang. Namun, sekali lagi, hati ini tak ingin menyesali jalan pilihan hidupnya. Karena sekali lagi, hati ini hanya ingin mengharapkan kebaikan. Meski dari hati kecil ini mencoba menjerit, “tolong lihat diri ini dari kaca mata yang lebih arif”.
Hati yang tak sempurna. Hati yang jauh dari sebuah kondisi kebanyakan hati…hati…yang lain. Kondisi yang bisa dikatakan sulit bagi hati ini. Hati yang terkadang bersimbah pada masalah yang rumit. Hati yang terkadang membutuhkan hero untuk membantunya memapah hati yang sempat terjatuh.
Hati yang terus berharap…
Agar orang yang membuat hati ini ada,
Membaik dari kondisi yang sekarang Agar kakak yang memperlihatkan panorama pencakar langit,
Membaik dari kondisi yang sekarang Cobalah sedikit menilai sesuatu dari background yang menjadikannya demikian hingga berpangkal pada penilaian yang lebih arif.
Bukan sekedar dari kecacatan yang orang lain anggap dari sebuah konsekuensi memilih kehidupan yang berbeda dengan kaca mata pribadi. Bukan sekedar pada poin ketika Anda membutuhkan tenaga dan pikiran hati ini. Bukan sekedar hati ini bisa bermanfaat untuk Anda. Bukan sekedar hati ini bisa selalu aktif untuk menjalankan misi Anda. Namun, pakailah kacamata lain yang lebih bijaksana. Sedikit saja, kearifan. Bukan sekedar normative tunggal.
Hati yang merindu tempat bersemayamnya adalah hati yang mencoba mengikhlaskan segalanya. Mencoba memapah dirinya dalam kesendirian. Mencoba melihat dunia dengan kacamata seadaanya tetapi dengan hati yang lebih lapang. Mencoba menilik kehidupan orang lain dengan senyuman. Mencoba menikmati hadirnya hati yang lain dan mensyukuri setiap kata dan torehan keindahan ketulusan yang ia beri hingga mampu mengangkat betapa beratnya hati ini mendongakkan kepalanya. Hati ini…akan tetap merindu, meski ia tak memiliki tempat untuk melabuhkannya.
Hati tak pernah pilih hati lain untuk diajaknya berdiskusi dan belajar banyak hal dari hati yang lain. Hati ini terus merajuk ingin menjadi keluarga di dalamnya. Meski konsekuensinya, ia harus beradaptasi dengan style dan adat baru di rumahnya yang baru. Hati tak pernah gentar untuk memasuki dunia barunya. Meskipun berbagai perasaan berkecamuk di dalamnya. Antara hati yang beradaptasi dan hati yang telah melahirkan dirinya sejak dulu. Hati ini, toh, akhirnya memilih menjalani proses adaptasinya. Ia menjadi hati yang sangat penurut. A bilang A, si hati turut katakan A. B bertingkah B, si hati pun turut pada tingkah B. Yaw, seperti anak ayam yang akhirnya menemukan jalan membersamai induknya.
Hati ini merasa kenyamanan yang begitu mencandukannya. Merasa dirinya ingin hidup lebih bersemangat lagi. Merasa dirinya memiliki mata baru yang tak ia jumpai di rumah lamanya. Rumah lamanya kental dengan loyalitas dan kedisplinan. Ketegasan adalah hal penting bagi rumah lama dan religiusitas adalah hal yang baru ia bangun semenjak kepemimpinannya. Berbeda dengan rumah barunya. Selain loyalitas dan kinerja yang dituntut dengan ideologi, religiusitas menjadi hal terpenting di dalamnya. Seperti inilah hati ini mencoba beradaptasi dengan rumah barunya. Meski begitu, ia tetap seorang hati yang ia katakan sebagai ‘dirinya sendiri’.
id.inter-pix.com
Kebaikan itu memang ada dalam aturan itu, tapi terkadang orang harus memilih untuk tetap berada dalam role atau sedikit ambil jalur lain. Aturan ini seperti koridor yang menentukan jalan kehidupan hati pada masing-masing individu. Terlepas dari segala norma dan tata nilai yang berlaku di dalamnya. Pilihannya hanya dua, taat atau sedikit ambil jalur. Kemudian mundur perlahan, karena hati ini tahu orang lain menganggapnya keliru. Meski tanpa sadar, sebenarnya pun mereka pernah atau bahkan sempat hampir melakukan apa yang mereka kata ‘keliru’.
Kekeliruan ini bagi hati yang merindu rumahnya, seperti bola yang terus menggelinding pada kisaran tendangan corner. Situasi menyudutkan. Hingga hati ini perlahan mundur dan mencari rumah-rumah baru lainnya. Rumah yang bisa menerima dirinya dengan sepotong ‘keliru’ kata orang yang berada di rumah itu.
Kekeliruannya adalah sebuah pilihan. Kekeliruannya adalah kondisi yang menurutnya adalah sesuatu yang menjadi jawaban atas kesulitannya. Kesulitan yang hanya dirinya dan pilihannya ketahui. Kesulitan yang disangoninya sejak sekian tahun lalu. Sebuah dilema yang tertutup rapat oleh puing yang tak pernah dimengerti orang lain. Hati ini memiliki sesuatu yang membuatnya memilih pilihannya sendiri. Meskipun berat, karena konsekuensinya adalah hati ini akan terdampar. Terasing atau terpaksa mengasingkan diri dari rumah itu. Perlahan-lahan, dengan cara yang tak pernah nampak tapi terasakan.
Orang lain hanya tahu, bahwa hati ini telah salah memilih. Memilih situasi yang membuatnya mundur dari role yang dibuat oleh rumahnya kini. Tapi hati ini hanya menyadari satu hal, pilihannya adalah bagian dari hidupnya. Bagian dari hidupnya adalah tanggungjawabnya. Tanggungjawabnya adalah konsekuensi logis dan psikologis yang akan diterimanya. Hati tak akan lari dari realitas dengan pilihannya. Ia mengetahui sejak awal ini akan terjadi meski perlahan pada latensi tertentu.
Ada hukum alam yang berkata di dalamnya. Inilah konsekuensinya. Konsekuensi logis, dia dianggap si hati penyimpang. Tanpa pernilaian arif dari yang melatarbelakangi semuanya. Hati yang lain tak akan pernah ingin mengetahui latar belakang dari pilihan ini. Konsekuensi psikologisnya adalah sebuah kondisi bagi hati ini untuk mundur perlahan dari di rumah itu. Meski sangsinya, ia dianggap tak bersemangat lagi. Padahal jujur, hati ini telah lahir dari hati yang terbakar bersama keluarganya dalam api menggelora. Dan masih tersimpan hingga tetaplah nampak seperti api di kala kabut menyelubunginya. Masalahnya adalah hati lain yang melihatnya dengan kaca mata berbeda. Sudah dibumbui oleh sesuatu yang menjadi perspektif mereka sendiri. Bahkan hati ini tak kuasa mengatakan A jika itu perlu. Atau B jika itu benar yang seharusnya dikatakan. Hati…..hati yang seharusnya lebih bijak hanya mampu berspekulasi dengan keadaan saya. Pedih rasa hati ini. Hanya pedih.
Rumahnya kini, tak pernah membuat dirinya lelah untuk belajar banyak hal. Berbincang dengan banyak orang tentang sesuatu yang tak terduga oleh hati ini. Hati ini senang menerima pengakuan dari orang-orang di rumahnya, bahwa dirinya termasuk dalam label ‘rumah yang tak akan pernah diam’. Menjadi bagian keluarga besar di rumahnya kini adalah kebahagiaan yang tak ia temukan lagi. Menjadi bagian yang kini dirindukan olehnya. Merindu karena telah lama meninggalkan rumah itu. Merindu karena tiba-tiba dirinya merasa tak diakui oleh keluarga tercintanya. Rumah itu perlahan menjauh dari pandangannya. Perlahan memutar diri menatap hati ini seakan bersimbah lumpur yang tak enak didekati. Bahkan dijadikan bahan perbincangan yang mungkin menyakitkan di dengar, pahit dirasa.
Sakit dan pahit ini adalah konsekuensinya. Tanggungjawab bagi si pemilik hati. Ketika hati pasrah, disitulah pilihan berpijak. Pilihan membawanya pada penghidupan yang bervisi ke depan. Visi yang tak akan hati ini sesali. Namun, dibalik semua itu, ia menyesali satu hal. Ia menyesal baru menyadari. Menyadari bahwa mungkin keluarga ini bukanlah rumah yang ia cari. Bukanlah rumah yang tepat baginya. Karena terbukti, rumah itu tak bisa menerima hati ini yang telah memilih sendiri. Pilihannya yang dianggap noda bagi rumah itu. Hati ini justru menganggapnya sebuah penghidupan. Penghidupan yang berorientasi ke depan dan berperngharapan pada sebuah kebaikan. Meski diakui caranya keliru. Namun, keadaan benar-benar di luar kehendaknya. Ia telah berusaha mengikuti arus yang tenang dan sesuai alurnya.
Pilihan ini adalah kondisi tersulit bagi hati ini. Pilihan ini adalah konsekuensi logis dari sisi kehidupan hati yang tak pernah diketahui orang lain. Pilihan inilah yang sebenarnya membawa hati pada kehidupan baru. Hati ini memilih karena mengharapkan kebaikan di dalamnya. Namun, keluargaya tak mampu menerima dirinya apa adanya, hingga hati ini harus perlahan-lahan mundur dan mengucilkan diri.
Hati ini ingin berkata, maaf, jika ada yang merasa disakiti oleh hati yang tak pernah sempurna dan kadang luput. Maaf, jika hati ini mengecewakan banyak pihak yang membesarkan hati ini. Maaf, jika hati ini terlalu naïf untuk mengakuinya. Maaf, karena hati ini memiliki kinerja yang berbeda dari sebelumnya. Bukan karena hati ini lelah atau tak bertanggungjawab, tapi hati ini tak kuasa menahan perbedaan yang lekat pada dirinya dengan adat-adat yang dipampang pada dinding rumah itu. Maaf…
Kini kerinduan itu datang. Rindu ketika hati ini bergerilya begitu cepat kesana kemari untuk sebuah misi yang menyejukkan hati. Tempat dimana hati ini bisa mengenal dunia luar dengan berbagai kondisinya. Kondisi beliau tua renta yang bersemayam di sebuah panti jompo. Kondisi adik-adik lucu yang berseteru mesra dengan adik-adik yang lain di sebuah yayasan penampungan. Kondisi teman-teman kita yang memiliki kemampuan luar biasa dengan keterbatasan kondisi fisiknya. Kondisi adik-adik yang haus sentuhan pembelajaran di sebuah desa binaan. Hati rindu. Merindukan masa-masa itu.
Ketika hati ini rindu, ia melewatkan kesempatannya yang kedua. Tahun kedua ia berada pada pilihan yang akhirnya membawanya mundur perlahan. Ia hanya berorientasi mempertanggungjawabkan pada proker dan pekerjaan semata. Rasa kekeluargaannya tiba-tiba menjauhinya perlahan. Tiba-tiba merasa dikucilkan. Inilah yang dikatakan konsekuensi psikologis bagi hati ini. Hati ini tak pernah gentar. Hati ini tak akan menyesali pilihannya.
Hati ini akan tetap memberanikan diri menanggung konsekuensinya. Karena hati meyakini sudah saatnya ia menentukan jalan kehidupannya. Hati ini meyakini bahwa kedewasaannya adalah ketika ia mengetahui apa yang ia butuhkan dan mempertanggungjawabkan konsekuensi sosial yang tidak menerima dirinya memilih pada pilihan ini. Hati ini mencoba menguatkan diri untuk lebih tegar. Karena hati ini menyadari, di keadaan terpuruk lah ia bisa mencari keluarga yang benar-benar ‘keluarga’ baginya.
Keadaan terpuruk inilah yang akan membantu ia menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya apa adanya. Bukan semata karena potensinya dan ingin memanfaatkannya. Bukan semata karena dipilih untuk menjalankan misi di balik layar. Keadaan inilah yang membuatnya menyadari bahwa keluarga adalah perseteruan orang-orang yang memahami keadaannya dan menerima apa adanya. Bukan memahami kemampuannya dan menerima apa yang dibutuhkan dan bisa dimanfaatkan semata.
Biarkanlah hati ini menghela napas sebentar. Sekedar menghembuskan sesak terasa yang tak kunjung berkibas. Perasaan sesak ketika hati ini merindu tetapi sebuah plang ketidak mungkinan menuntun pada alur kehidupan melankolis dramatis. Karena pilihan yang ia buat adalah jalan yang berbeda dengan kerinduan yang mengundang. Namun, sekali lagi, hati ini tak ingin menyesali jalan pilihan hidupnya. Karena sekali lagi, hati ini hanya ingin mengharapkan kebaikan. Meski dari hati kecil ini mencoba menjerit, “tolong lihat diri ini dari kaca mata yang lebih arif”.
Hati yang tak sempurna. Hati yang jauh dari sebuah kondisi kebanyakan hati…hati…yang lain. Kondisi yang bisa dikatakan sulit bagi hati ini. Hati yang terkadang bersimbah pada masalah yang rumit. Hati yang terkadang membutuhkan hero untuk membantunya memapah hati yang sempat terjatuh.
Hati yang terus berharap…
Agar orang yang membuat hati ini ada,
Membaik dari kondisi yang sekarang Agar kakak yang memperlihatkan panorama pencakar langit,
Membaik dari kondisi yang sekarang Cobalah sedikit menilai sesuatu dari background yang menjadikannya demikian hingga berpangkal pada penilaian yang lebih arif.
Bukan sekedar dari kecacatan yang orang lain anggap dari sebuah konsekuensi memilih kehidupan yang berbeda dengan kaca mata pribadi. Bukan sekedar pada poin ketika Anda membutuhkan tenaga dan pikiran hati ini. Bukan sekedar hati ini bisa bermanfaat untuk Anda. Bukan sekedar hati ini bisa selalu aktif untuk menjalankan misi Anda. Namun, pakailah kacamata lain yang lebih bijaksana. Sedikit saja, kearifan. Bukan sekedar normative tunggal.
Hati yang merindu tempat bersemayamnya adalah hati yang mencoba mengikhlaskan segalanya. Mencoba memapah dirinya dalam kesendirian. Mencoba melihat dunia dengan kacamata seadaanya tetapi dengan hati yang lebih lapang. Mencoba menilik kehidupan orang lain dengan senyuman. Mencoba menikmati hadirnya hati yang lain dan mensyukuri setiap kata dan torehan keindahan ketulusan yang ia beri hingga mampu mengangkat betapa beratnya hati ini mendongakkan kepalanya. Hati ini…akan tetap merindu, meski ia tak memiliki tempat untuk melabuhkannya.