Menjadi ayah membuatnya dewasa. Seperti jago yang mengayomi anaknya. Itulah kakak saya ketika ia menjadi seorang ayah dari anak pertamanya, Almadina Atia Putri Safa. Nama yang panjang untuk ukuran seorang bayi mungil putih bersih di pangkuan saya saat ini. Hanya sekejap ia bermanjakan pada tante bungsunya. Sekedar melepas rasa syukur dikaruniai ponakan cantik nan lucu. Selebihnya, saya membiarkannya bermain di tempatnya pembaringan. Memainkan kaki mungilnya, lucu! Mengajak bicara seakan ia paham akan ucapan saya.
Orang rumah memanggilnya Safa. Saya lebih suka menyebutnya Maradona Kecil “Maradini” karena wajah polosnya mirip sekali dengan kakak saya itu, bernamakan Agung Maradona Setiawan. Saya ambil saja nama tengahnya.
Tiap pagi saya terbangun mendengar ocehannya. Mencerna tatapan matanya. Menenami dan menyanyikannya sebuah lagu. Mencubiti pipi mulusnya. Menciuminya hingga habis.
Ia masih bayi tapi tetap mampu merasakan kehadiran saya. Mata pidarnya mengikuti arah kedatangan saya, berangsur mendekat. Menatap lama pada raut yang menyemburatkan senyum pada bayi mungil dihadapannya. Bermain-main dengan lidah dan mulutnya yang serba mini. Menjulurkannya seakan haus menantikan curahan air sang ibu.
Saya dendangkan lagu-lagu pujian. Mengajarinya berdekat diri dengan Rabb sejak dini. Membuatnya tertidur, sayup-sayup matanya kuyu. Kini tinggal lah saya seoarang diri menikmati lucunya keponakan saya ini. Imut. Putih. Cantik. Kocak. Polos. Dan sangat menggemaskan. Banyak kata sebenarnya bisa menjadi panorama seorang Safa si bayi mungil. Tapi malam, tak menginginkannya berbagi dengan yang lain. Saya ingin menyimpan bayangan itu sendiri. Membuat saya seakan mencium lekat aroma bedak bayi khas dari tubuh Safa. Wangi dan lembut. Hemmhh. Itu pun terbawa hingga kini saya telah nun jauh dari dirinya. Berada ratusan kilometer dari jaraknya berada. Namun, aroma bedak baby mengelabui saya pada bayangannya.
Pemandangan ini seakan menarik diri saya pada nostalgia, jaman kita bermain bersama dengan kakak saya. Kontras. Seperti inilah hidup yang terus berputar. Kali ini, saya diperlihatkan tontonan baru. Menyaksikan sendiri kakak saya meladeni orang lain mengambilkan makanan bagi istrinya. Hal ini kontras dari yang saya kenal seorang Agung sebelumnya. Kakak saya adalah sosok cuek yang bisa dibilang tidak pengertian pada adik-adiknya. Justru sebaliknya, saya yang mengambilkannya makanan dan apapun yang terkadang ia kesulitan menemukannya. Yang terkadang sedikit dimanja oleh ibu saya, karena ia anak laki-laki satu-satunya. Yang dahulu kala sering berebut makanan dengan saya. Kini, ia tumbuh dewasa sebagai seorang ayah.
Saya baru pernah melihat kakak saya memanjakan anak kecil. Berbanding terbalik dengan nyata dirinya sebelum ini. Saya kenal betul kakak saya ini. My old brother so charmy, jika berada di dekat anak kecil. Tapi kini, ia berbeda dari sebelumnya. Ia lebih mature dengan sentuhan kasih sayangnya pada Safa. Menakjubkan. Title seorang ayah, banyak membuatnya berubah.
Saya merasakan sedikit pergeseran paradigma akan kehidupannya. Sekali lagi saya ingin bilang, bahwa kakak saya makin dewasa dengan title seorang ayah bagi Safa. Saya rasa, seorang Agung ini telah belajar banyak dari kehidupannya sendiri. Ia belajar memahami arti tangisan seorang bayi dari anaknya sendiri. Belajar mengerti wanita dari istrinya sendiri. Belajar bertanggungjawab dari kehidupan rumah tangganya sendiri. Belajar dewasa dari kehidupan yang ia jalani bersama keluarga barunya.
Sembilan hari tepatnya sejak Jumat pekan lalu saya kembali ke tanah haribaan saya. Dari beribu sms dan permohonan banyak pihak yang meminta saya, akhirnya pulkam di tengah kebimbangan. Bimbang karena di Solo akan meninggalkan sebuah plan proyek yang belum pasti dan membutuhkan keberadaan saya sewaktu-waktu. Hingga akhirnya, saya nekad pulang meski sehari. Meski kocek habis untuk perjalanan. Meski lelah dan letih tak tertahankan. Bayangkan saja, dalam sehari saya bergerak cepat Jogja-Solo-Purwokerto. Melelahkan tapi menakjubkan karena ada yang menunggu saya di rumah. Orang tua yang rindu tiada
Dua hari berselang, saya melewati masa liburan saya di rumah. Terhitung dari waktu yang saya punya untuk berada di sini. Esok paginya secarik sms menjatuhkan duriannya pada saya. Rapat perdana plan proyek diundur hingga satu minggu ke depan. Memberikan luang bagi saya untuk lebih lama di rumah.
Tidak ambil pusing. Rencana awal saya, untuk berobat gigi di rumah saya segerakan. Setelah hari minggu ini, liburan pun menjadi noktah berbeda yang menyusun puing rutinitas saya sedikit melow. Ngedokter adalah kegiatan saya di rumah. Sakit adalah anugrah terbesar saya saat berlibur. Tidur dan lemas adalah teman saya di rumah. Saya nggak peduli dengan semua derita yang saya anggap sebuah liburan fantastis tahun ini. Awal tahun yang membuat bulu kuduk saya merinding. Dengan vonis dokter, bahwa saya harus dioperasi. Bagi saya, kesembuhan ini lebih penting untuk kehidupan saya yang mudah-mudahan lebih baik ke depannya. Dari sebuah cerita tentang saya, tentang hidup, tentang lika-liku dan perjuangan. Bagi saya, semuanya terasa nikmat.
Gigi saya diambil satu. Rasanya….ada yang hilang. Dan deritanya makin menjadi karena seminggu ini saya belum bisa makan nasi. Padalah notabenenya saya sedang berada di rumah. “Rumah" adalah surga dunia bagi anak kos seperti saya. Gudangnya makanan gratis. Serta suguhan hiburan beraneka macam. Tapi bagi saya, sakit dan derita adalah hadiah di tengah liburnya saya semester ini.
Tuhan tidak berhenti menganugrahi saya kejutan besar di tahun ini. Dari konsultasi dokter, saya mendengar kata operasi kecil. Saya pikir, saya bisa menghindari satu kata yang menakutkan itu. Hingga di ruangan itu, dokter menyampaikan bahwa solusinya adalah operasi kecil untuk gigi geraham paling bungsu. Tumbuh miring karena bentuk rahang saya mengecil kebawah. Hufh! Hanya bisa pasrah serambil mengumpulkan banyak keberanian untuk mengikuti serangkaian pengobatan yang belum saya jalani, tapi menjadi ketakutan tersendiri saat ini.
Setelah keadaan saya memulih, minggu pagi saya memutuskan kembali ke Solo. Merindukan semuanya yang ada di
Tuhan sedang mengingatkan saya tentang kebesaran-Nya. Seminggu ini belum cukup nampaknya saya dianugrahi berbagai macam kondisi. Sampai perjalanan saya pun termakan situasi yang tak mengenakkan. Horror, saya bilang.
“Tiarap!”, begitu teriak salah seorang polisi di ujung pintu. Saya pun tiarap menyesuaikan perintahnya. Mengikuti alur suram yang sedang terjadi di kereta ini. Gemetaran dan takut luar biasa. ini terjadi 4 menit sebelum saya turun hingga akhirnya kereta saya dilempari batu sampai kaca pecah. Kekacauan ini karena santer kabar perselisihan antar supporter salah satu klub sepak bola di
Keluar dari setasiun, saya buru-buru menghampiri area parkir. Mencari sosok yang katanya hendak menjemput saya, belum juga datang. Telat! Macet, katanya! Huff! Saya menunggu dengan taraf syok yang saya rasakan masih stadium lanjut. Artinya, saya masih takut setengah mati.