06 Februari 2009

Comfort zone, got it lose or never try to be strong!

Suatu sore di tepi ruangan yang diiringi rintikan hujan, teman saya berujar tentang ketakutannya. Dia katakan pada saya, “Yaz, gw takut, kalau nanti gw kehilangan kehidupan yang nyaman seperti sekarang”. Sederhana! Saya pikir saat itu. Namun, pertanyaan itu menjadi undeliberate sebuah peristiwa yang saya temui dalam waktu yang tak lama. Saya mendapatkan pertanyaan itu untuk keesokannya saya mendapatkan buku yang membicarakan hal yang sama.


Ini hidup, Boz! Jangan terlalu sempit memandang. Saya katakan spontan saat itu. ”Keberanian tak kan muncul kalau rasa takutnya belum lewat”. So, sudah beruntung merasakan tahap pertama, setidaknya ada perasaan takut, berikutnya adalah saatnya lalui next fase! Lalui rasa takut itu dengan berempati terhadap keadaan orang lain yang kurang beruntung, keadaan adek-adek kita yang tidak bisa nyaman merasakan kasih sayang penuh dari orang tuanya, keadaan ibu-ibu lansia yang terpapah lemah di pembaringan panti jompo. “Dan semuanya, yang ditemui di bidang ini”. Ucap saya sambil menunjuk sendiri keberadaanya yang juga bergerak di bidang social dan masyarakat. Seharusnya ia bisa belajar banyak dari rasa empati yang bisa ia sentuh dari situ.


Ketika takut menjadi candu, ketika takut membatasi gerak karena parno atas resiko-resiko di kemudian sesion kehidupan. Itu akan menjadikan kita makin kecil untuk kehidupan yang begitu luas. Saya katakan padanya, serba spontan. Dan mencoba, mengartikannya untuk membuka keberaniannya sendiri. Saya pikir, bukannya ia takut. Hanya saja, enggan untuk mencobanya.


36 jam berikutnya, saya menemukan buku berjudul “Menyemai Impian, Meraih Sukses Mulia” karya inspired Jamil Azzaini. Jawaban yang diberikan layaknya “Kutu dalam Kotak Korek Api”. Dia adalah hewan yang senantiasa hidup di dalam sekotak korek api kemudian bebas di alam belantara, setelah sekian lama ia terbiasa meloncat setinggi korek api. Padahal sesungguhnya, ia pun dapat meloncat lebih tinggi dari yang ia kira. Begitu ia bebas di dunia nyata yang tak bersekat, ia hanya bisa meloncat setinggi korek api. Karena ia hidup dengan persepsi seperti itu sejak ia lahir hingga menjadi pembiasaan. Kemampuan sang kutu yang sebenarnya bisa muncul, tidak muncul karena dibatasi pengalaman hidup di dalam kotak korek api. Yang didalamnya tidak ada ombak sebesar gulungan bukit, seperti di lautan. Yang di dalamnya tidak ada angin sekencang jetcoaster, seperti di tepian pantai sore hari. Yang di dalamnya tak ada batu besar yang harus dilompati, layaknya benteng pertahanan yang selalu membawa kita di comfort zone.


-tidak akan terlahir nahkoda yang handal dan kuat, jika tak ada badai dan ombak besar yang berhasil dilaluinya-


Intinya, ”Jangan takut terlepas dari zona aman, karena itu akan membuatmu belajar lebih kuat. Meski awalnya, terasa rapuh.” Saya belum sempat menjawab, setidaknya dari sinilah saya akan menguraikan lebih dari sekedar jawaban. Semoga bisa menjadi wacana baru untuk teman say dan tentunya, pribadi saya sendiri. Karena saya pun sedang belajar! Tak ingin menggurui siapapun. Hanya sebatas kata yang dibatasi petak-petak pikiran yang terus berputar ditengah terlelapnya orang-orang tergeletak nyenyak di tempat pembaringan. (-nite-)

04 Februari 2009

Pit Stop

Satu perahu berlayar ke timur, lainnya ke barat,
Padahal digerakkan oleh angin yang sama.
Bukan arah angin yang menentukan
ke mana arah perahu,
tapi bentangan lebar layarlah yang membawa kita.
Seperti angin laut itulah alur kehidupan.
Saat kita mengarungi kehidupan.
Bentangan jiwalah yang menentukan tujuannya,
Dan bukan ketenangan atau hiruk pikuknya lingkungan kita.
(Ella Wheeler Wilcox)

Kericuhan hari kemarin adalah pelajaran buat saya. Ada tidaknya sesuatu yang tidak pas pada porsinya, membuat saya belajar untuk menyikapi kondisi yang ada. Sekali lagi, bukan kita yang terbawa situasi, tapi kita lah yang membawa situasi itu kemudian mengarahkannya karena kitalah nahkodanya. Bukan ombang-ambing ombak di luaran sana yang menjalankan kehidupan saya.

Hari kemarin crowded dan membuat banyak orang lain kecewa atas diri saya. ”Maaf...!”, hanya itu senjata satu-satunya yang bisa saya keluarkan ketika membuat orang lain kecewa. Namun, tak sampai di situ saya bisa meleburkan kekecewaannya. Paling tidak saya bertekad akan lebih baik.

Hampir saja, perjalanan panjang yang saya lalui akhir-akhir ini membuat saya lelah. Entah, kelelahan apa yang mengelabui keyakinan saya sementara ini. Setidaknya, saya tidak akan menyerah sekarang. Saya ini, hanya butuh ruang dan napas panjang untuk menikmati kehidupan lain yang sempat saya lupakan.

Saya berpikir mencari tempat semacam ”pit stop”. Seperti tontonan saya tiap musim di tahun 2009 ini yang akan diawali bulan April mendatang, adalah arena ”pit stop” yang menjadi pilihan seorang pembalap sekelas Rossi ataupun Pedrosa untuk memenangkan sesinya dengan perhitungan waktu yang tepat dan amunisi yang baru. Saya pun ingin memasuki area ini, dengan perhitungan tepat ketika waktu orang lain tidak saya rugikan dan dengan waktu saya sendiri. Untuk sekedar mengisi bahan bakar baru dan menantikan semangat baru muncul dengan napas penyegaran.

The last, saya suka ending hari kemarin. Saya menemukan ”pit stop” ini sepanjang perjalanan saya ke Sukoharjo. Tepat hari Selasa, saya menjelajahi Sukoharjo, sedikit menyerempet ke Wonogiri melihat pemandangan bukit yang luar biasa indahnya. Saya baru pertama kali melewati jalur itu, dan terasa begitu nikmat. Laiknya menyantap dinginnya es kelapa muda, di tepian aliran sungai yang mengalir jernih.

Di tambah lagi kejadian di perpus pusat yang membuat saya sedikit terobati dengan segala macam perasaan yang bercampur, sama halnya gado-gado: ada perasaan bersalah meninggalkan tanggungan, mengecewakan orang lain, melakukan banyak hal tapi melepaskan banyak moment. Membuat saya makin merasa bahwa 24 jam ini terasa begitu cepat berputar. Dan saya ingin menemukan ”pit stop”-”pit stop” lainnya yang akan memberikan waktu bagi saya untuk menikmati hidup. Melewati kosongnya waktu dengan perenungan. Perenungan panjang selama hampir 2 tahun saya di Solo. Ataupun rutinitas yang sudah mulai membuat saya sesak. Ingin segera mencari tempat bernama ”pit stop”. Dan sangat ingin......pergi ke alam bebas.