24 Desember 2008

Buat Saya, Everyday is Mother's Day

22 Desember 2008 is mother’s day. Seperti sore saat saya memberikan kecupan terakhir sebelum saya pergi meninggalkan ibu saya karena saya harus ke Solo, sore ini saya ingin bernyanyi sendiri dalam kekhusyukan, untuk sebuah persembahan terdalam dari saya.

Kuputar lagi recording-an kakak saya, dan selalu saya ingat tulisan ini :

Aku bisa mengangkat diri ini lebih tinggi

Karena ku tau, ada kau, sayap lebarku

Aku mampu menatap dunia ini lebih lapang

Karena ku anggap, kau lah mata besarku

Kau mengukir tanganku untuk lebih berani

Karena kau tau, angin besar itu tak sekali

Kau melukis wajahku untuk lebih tegar

Karena kau anggap, aku mampu melewatinya

Lebih dari apapun

Lebih dari segalanya

Kau tetap kan jadi

Wanita terkuat

Tiap hembus napasnya

Dalam detak jantungnya

Kau tetap kan jadi

Wanita terhebat

Saat ku tatap langit

Lebih merona

Ku tau kau sandarkan doa

Di punggung hatiku

Syair lagu di atas dinyanyikan saat ibu saya ulangtahun. 22 Juni 2008, bertepatan dengan ulang tahun Jakarta. Penuh haru saat itu! Tapi tak sekedar sinetronis yang melo yang kita tangkap dari masa itu, saat itu kita hanya ingin memberikannya kado manis yang paling berbeda. Bingkisan doa dan thanksgiving untuk ibu saya.

Sejarah pembuatan syairnya g pake acara rumit. Waktu itu, saya banyak waktu kosong karena masa transisi dari SMA ke dunia penuh tantangan, dunia sebenarnya di bangku panas perkuliahan. Ketika itu, saya selepas SMA, menunggu masa-masa penantian sebuah kepastian akan melanjutkan zarah hidup saya selanjutnya. Belum tahu kemana saat itu. Kini, sudah terjawab, toh akhirnya saya duduk di tempat yang bertitle-kan Sebelas Maret University.

Masa-masa itu adalah ketika saya jarang bertemu dengan teman satu kelas saya, teman belajar saya, teman satu darah perjuangan, teman gila di kelas, teman asik yang sukanya kongkow di kantin Pak Sarkim (red:sisa-sisa kenangan saja!), ataupun teman petunjuk jalan ‘istiqomah’ karena sering mengajak saya diskusi di mushola. Dan sebagainya, adek-adek kelas yang tak terlupakan merepotkannya (red:masa-masa MOS paling seru 2006). The last, kakak-kakak alumnus yang masih inget Paskib dan akan tetap memiliki jiwa satu korsa di dalam sana (menunjuk pada lambang kebanggaan kita, Bendera Merah Putih). Weitz! Enough, nostalgilanya, saya rasa! Sekedar flashback yang g penting sebenarnya.

Saya merasa akan ada alur ketika saya makin dewasa, meningkat pula rasa sayang saya pada keluarga saya. Ketika merasa pernah jauh atau kehilangan, ketika itu pula saya semakin mencintai keluarga saya. Sebelumnya saya tak pernah se-melo ini ketika membicarakan keluarga saya, apalagi ibu saya. Semenjak saya sering pergi ke luar kota, tes ujian masuk ini-itu, yang tak pernah kuingini kecuali saran dari orang tua, saya merasa ‘rindu teramat’ pada keluarga saya, terutama ibu saya. Home sick, bahasa menterengnya.

Inspirasi! Sebatas hal yang membuat saya membuka lebar mata saya tentang keluarga saya. Merasakan jauh dari orang tua adalah fase terpenting karena saya tahu “the real world”, yang akan terasa sangat berat ketika kita menjalaninya sendiri. Kedua……diberi kesempatan mengenal banyak orang termasuk yang paling “istimewa”, punya kelebihan yang saya yakin bisa menutupi kekurangan fisik mereka adalah fase terindah yang Tuhan anugrahkan untuk memperbesar rasa syukur saya, yang selama ini jauh dari kata “cukup”. Ketiga…..perasaan kehilangan anggota keluarga, sakit ataupun kecelakaan adalah penantian sebuah jawaban dari arti hidup yang paling hakiki “berpulang kembali pada Sang Pencipta”. Metafora-metafora di atas, harus saya akui telah meyakinkan saya bahwa keluargalah salah satu tiang penguat saya selama ini. Tugu pertahanan saya selama hujan badai mengancam pendirian saya. Dan sudah saatnya pula, tiang-tiang dalam hidup saya, saya sirami dengan apapun yang saya punya dan yang bisa saya lakukan untuk kebahagian mereka.

22 Desember. Hari ini adalah dimana orang mengenal dengan istilah nama ‘hari ibu’. Dengan kesibukan tugas berjibun, akhirnya sempat juga menuliskan posting bout "mOm" ini. Bagi saya, hari ini segala yang kusimpan ingin kucurahkan seluruhnya padanya. Segala yang pernah kupinjam ingin kukembalikan pada tempatnya. Segala yang kuimpikan segera ingin kuwujudkan atas nama beliau. Dan segala yang kuinginkan diatas segala-galanya akan kupersembahkan untuk kebahagiannya.

Satu pinta saya, “Mami…tersenyumlah??”Benar-benar dari hatimu. Meski setiap hari saya tahu senyum itu ada, tapi saya ingin senyum itu karena mami tak menahan apapun di dalam sini (saya menunjuk sendiri ulu hati saya). Ataupun sekedar “senyum” yang mengingikan saya tenang dengan kondisi mami. Meski sebenarnya, disini (lagi-lagi) saya tahu isinya. Mami…..saya mohon….

Senyum itu…seperti senyum di awal Desember, malam paling indah yang pernah saya lalui bersama teman saya, saat bulan tersenyum ditemani dua bintang penunggunya. Dan saya nikmati betul tiap menit saat saya bisa mengingatnya, bersama ibu saya tentunya. Saat-saat saya bisa mencium telapak tangannya, memeluk tubuhnya, hangat! Dan mengucapkan salam. “Mam, dias berangkat dulu. Ke Solo….”

[NB: sebelumnya saya pernah menulis di wordpress tentang "hormat-hormat yang lain", inilah maksud saya. Orang tua saya,, tak lebih dari itu. Aneh, kenapa orang yang membacanya, mengira yang tidak-tidak.]

Hari ini, tepat pengakuan itu akan dideklarasikan dari kami bertiga, tiang tegak yang terus berdiri mengelilingi benteng pertahanan ibu saya. “Ada pengakuan dari kami, mam.” Sebuah pengakuan bagi kami betapa hebatnya ibu saya itu. Karena selama ini hanya kami yang tahu kehebatannya. Tak banyak yang tahu, karena kami ingin menyimpannya untuk sebuah penghargaan dan penghormatan dari anak-anaknya yang selalu mencintainya.

Lovely yours,

Your son n 2 daughters,

[Agung, Uci, Dias]

09 Desember 2008

Kharismatik ato Koruptorik

Kajian teologis tentang kharisma
Akan mengingatkan manusia
Penerima kharisma untuk
Mempertanggungjawabkannya
Kepada Sang Pemberi Kharisma,
Dan tidak menggunakannya secara
Sewenang-wenang, dalam tugas apapun,
Termasuk di dalam bidang politik.
Secara politis, Sukarno dengan kharismanya yang kuat
yang berjuang demi keutuhan bangsa –
yang amat majemuk ini –
dan komitmentnya bagi kaum tertindas.
Mengilhami kita, pemuda & pemudi Indonesia
Untuk berdikari menjadi calon-calon
Pemimpin masa depan untuk mengantar rakyat
Menuju Indonesia baru,
(Pdt. Weinata Sairin, M.Th)

Bicara pada satu line “kharisma”, kita akan teringat sosok yang satu ini. Sosok yang berseru keras, “Berikan aku 10 pemuda maka aku akan menaklukan dunia”. Wuih, hebat benar kalimat itu. Saya pikir! Soekarno-nya yang hebat? Atau pemudanya yang mampu memback-up Soekarno hingga dunia takluk di atas tangannya?

“Kharismatik”. Tipikal orang seperti ini memiliki kelebihan, secara tinjauan “Personality Psychology” adalah kemampuan magnetis personality yang dimilikinya. Kemampuan daya tarik yang dimilikinya mampu membuat orang lain masuk dalam pengaruhnya.
Lantas, saya berkutat pada tuts di laptop, berhenti sejenak.......
Emmm, berhenti lebih lama....
Berpikir.......

Yah, saya pikir kharisma itu bisa bertombakkan bilah pisau yang negatif jika si pemilik pedang, menganggapnya sebagai alat pemikat. Tapi, lain cerita jika si pemiliknya menggunakan ujuk tombak di situ sebagai mata hati yang seharusnya dirawat, dengan iman-taqwa-dan kebaikan.

Jika mengutip penuh ucapan Weinata, tentang dunia per-politik-an di Indonesia. Apakah tak lepas dari figur-figur kharismatik yang dipajang di papan dasbor periklanan? Dijadikan tampilan menarik yang berujung pada kepentingan memikat banyak “masa” pendukung. Sekedar pemulus jalan, menuju kemenangan golongan. Huff, cape de! Selalu hanya sebagai “alat” politik. Jika benar adanya, dugaan saya, garis lurus ke depan adalah sangsi yang besar ketika melihat tokoh-tokoh yang mulai beredar di kancah perpolitikan menjelang pesta poria pemilu 2009. Semuanya sekedar “kedok”. Tujuan akhirnya hanyalah kemenangan. Dan wajah-wajah berkharisma itu, hanyalah “alat”. Iklan yang mengharukan adalah “cara”. Sedangkan cerita dari sang “Balon(bakal calon)” penuh sosialis itu....bisa saja “bulshit-an-nya”. Upz, maaf. Saya hanya mencoba jujur.
Wah, seru, saya bilang! Dunia perpolitikan makin dikomersialkan dengan iklan-iklan yang banyak bertebaran di TV. Dan sisi kharismatik ini, menurut saya akan luntur bersama torehan “hitam” dari si empunya.

9 Desember, “Hari Anti Korupsi Se-Dunia”. Mudah-mudahan jiwa-jiwa kharismatik ini, bukan sekedar topeng penutup wajah-wajah mafia koruptor. Karena sekali lagi saya bilang, jiwa “kharisma” ini hanya akan muncul jika si empunya memikirkan kebaikan RAKYAT.