23 November 2008

Behind The Scene “SSC”, ada lorong panjang!

Pukul 17 lewat lima, saya dan teman saya melewati lorong-lorong sempit sekitar daerah Solo yang terkhusus diberi nama wilayah Serengan. Dari jembatan besar, kita belok kiri, mengikuti arus sungai beberapa meter saja, ambil sudut ke kanan, melewati jalan setapak yang sempit dan berjubel rumah-rumah warga berdempetan. Pemandangan sore yang tiba-tiba membuat saya menemukan celah baru. Dari kepenatan yang memenuhi otak saya di akhir pekan ini. Sendiri, ditinggal teman-teman saya ke Delanggu dan Jogya, sementara saya tidak bisa kemana pun karena “sebuah alasan”.

Sore itu ramai! Ramai warga dengan segudang aktivitasnya. Ada yang sedang menjajakan gorengan, duduk-duduk bergerumul dengan tetangga satu lorong, notabenenya rumah mereka yang nampak seperti deretan rumah susun. Cukup rapat bahkan hampir tak ada celah jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya. Anak-anak yang berlarian, silih berganti memenuhi gang sempit sepanjang lorong. Ataupun deretan pemuda yang memetik gitar dan memenuhi lapangan badminton ala kadar, saya bilang. Karena masih bertepikan tanah dan belum layak pakai. Seperti tak terawat.

Sepertiga perjalanan kita, saya merasakan point of view yang lain dari deretan rumah-rumah yang kita lewati. Ada kesenjangan di sela-sela keramaian sore itu. Rumah-rumah besar tetap ada yang bertengger disekeliling induk-induknya yang tak sebanding jika dilihat area samping kanan-kirinya. Gambaran sudut seratus delapan puluh derajat! Bahasa saya, masih ada bangunan indah diantara rumah tipe SSSS (Sempit, Selonjor Saja Sulit). Maaf! Tapi inilah gambaran sore itu yang saya tuliskan jujur dari penglihatan saya. Karena...”apa yang kita dapatkan adalah apa yang kita lihat.”

Deskripsi suasana yang saya torehkan di atas adalah habitatnya anak-anak Serengan yang menyimpan sejuta harapan untuk tetap bisa belajar pada jam malam ketentuan PemKot, wajib belajar malam pukul 18.30 – 20.30 WIB (Waktu InsyaAllah Berubah). Di atas segalanya, kita bisa melihat betapa mereka melewati malam yang terkadang banyak menggoda mereka untuk tidak belajar. Bayangkan jika ruang belajar mereka menjadi satu ruang dengan ruang TV, atau satu petak untuk banyak hal yang dilakukan dalam satu keluarga. Belum lagi jika teman sebelah rumah mereka mengajak bermain, pastilah terdengar dan menjadi dorongan lebih besar pada mereka untuk lebih memilih bermain.

Sekarang kita bicara Bout ”SSC”, wadah dimana anak-anak Serengan belajar bersama-sama. Serengan Study Club, sebuah wadah bimbingan belajar kelompok untuk anak-anak Sekolah Dasar kelas 3 – 6 dengan materi pembelajaran: Matematika-IPA, IPS-Bhs.Indonesia-B.Inggris. Berdiri pada tahun 2007 di bulan ke sebelas, pada zamannya Totalitas’s Cabinet. Kemudian dilanjutkan oleh Berkobar’s Cabinet. Dan kini akan tetap berlanjut untuk periode ketiga. Meski kami menggunakan waktu 2 kali seminggu, yaitu Senin dan Kamis. Jam bimbingan belajar pukul 18.30 – 20.00 WIB, mudah-mudahan dua kali pertemuan yang kami rancang untuk mereka bermanfaat bagi penyelenggaran pendidikan anak bangsa. Wuiuhh! Berat ya, kalo udah bicara soal pendidikan, didikan, atau pun pendidik. Berat di ongkos, karena sekarang biaya pendidikan makin melejit setaraf garis kurva linier.

Saat menulis, backsound di bawah ini membuat saya teringat guru SD saya dulu. Dari beliau saya terbantu melihat potensi dan bakat saya. Pak Padi dan Bu Yanti (Dari kenangan manis saat bandel-bandelnya saya. Karena kapok, jadi langsung tobat! Haha,)

Pagiku cerahku
Matahari bersinar
Kugendong tas merahku
di pundak

Selamat pagi semua
Kunantikan dirimu
Di depan kelasmu
Menantikan kami

Reff : Guruku tersayang
Guruku tercinta
Tanpa mu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku, terima kasihku

Nyatanya diriku
Kadang buatmu marah
Namun segala maaf
kau berikan

(AFI Junior : Terima Kasih Guruku)



17 November 2008

everlasting moment!

Menurut KBBI Edisi ketiga, demisioner berarti keadaan tanpa kekuasaan (msl suatu kabinet dsb yang telah mengembalikan mandat kepada pemegang kedudukan berikutnya, tetapi masih melaksanakan tugas sehari-hari sambil menunggu dilantiknya kabinet yang baru). Begitulah saya mencoba memahami maknanya, tak sekedar membaca kontekstual dari buku yang ada dipangkuan saya ini. Siang ini saya melewati lorong kesepian. Benar-benar sepi! Dulu, paling tidak ada ibu-ibu yang stay on terus. Sekarang, nihil! Saat melangkah saya menganalogikan sendiri, bahwa dalam langkah saya ini ada dua langkah global, yaitu perubahan dan pelepasan. Itulah putaran roda yang terus akan menuntut pembaharuan. Utamanya saat menyinggung yang namanya kontinuitas sebuah lembaga pergerakan mahasiswa, tak selamanya tersambungkan oleh benang lurus yang tak kan pernah putus dan berganti. Selalu ada dinamikanya! Perubahan! Pembaharuan! Dan Pergantian Kader, artinya akan ada orang-orang baru disini. Itu variasi, namanya. Something different n pluralisasi! Not bad! Like it! Dan saya suka dinamika itu. Tapi sosok yang telah “ada” dan sudah saatnya berganti haluan pada “langkah lain”, seperti kakak-kakak saya mba Ririn, mba Sonia, mba Dita, mba Putri (Princess), mba Sri, dll yang akan selalu saya rindukan, sudah saatnya pula “harus berada di tempat lain dengan prioritas lain pula”. Inilah yang dinamakan “Pelepasan”. Bagian ini yang paling tidak saya sukai.

Sebelum melewati pos yang saya bilang tadi, “pembaharuan” pastinya akan ada masa “kosong”. Sebelum melalui pos yang saya bilang tadi, “pergantian” pastinya akan ada fase “lepas”. Apa yang kosong? Dan apa yang di lepas? Saya hanya bermain analogi saja. Karena jujur, demisioner tahun ini berbeda dengan sebelumnya. Karena di sini saya lebih merasa “kehilangan” ibu-ibu dan “sesepuh” (maaf jika saya menggunakan sebutan ini untuk orang-orang yang saya hormati dan banggakan, untuk orang-orang yang saya serap ilmunya ketika mereka ber”ulah”, untuk orang-orang yang banyak memberi saya referensi “pembelajaran” hidup, sikap-sikap pergerakan, dan pemikiran saya dalam menjelajahi roda kehidupan yang pastinya naik-turun. At least, untuk orang-orang yang banyak berkontribusi untuk BEM Berkobar).

Masa “kosong” inilah, yang saya pahami dengan sebutan “demisioner”. Karena tiba-tiba suasananya benar-benar sepi. Ibu-ibu lebih memilih at home, koz, atau opsi lain yang istilah baru ibu-ibu kalau ke sekre adalah “sekedar mampir”. Hikz! Melihat tujuan yang mereka usung, memang baik untuk pendewasaan kita-kita yang pastinya sudah saatnya tak selalu bergantung pada beliau-beliau. Tapi saya mengistilahkan sendiri kondisi yang terjadi sekarang ini…masa yang bisa dibilang benar-benar “kosong”. Pemahaman saya jatuh pada fase yang dibilang demisioner tadi, tapi saya sendiri merasa ragu antara masa demisioner ataukah sedih lebih dini? Karena kita masih punya satu proker “bout TO2” dan kita tak melihat lagi “sesepuh-sesepuh” kita. Sebenarnya apa sih, yang menjadi substansi “pas” untuk menyikapi masa-masa seperti ini? Menyiapkan kader dengan melepas kita-kita perlahan tapi menurut saya, ekstrem! Karena berdasarkan kurva penglihatan saya, ibu-ibu porsima tiba-tiba menghilang (ini istilah saya saja, meski sebenarnya mereka masih nongol dengan intensifitas yang berbeda dengan yang dulu). Yah, lagi-lagi sudah ada perubahan. Dari sini saja sudah terlihat jelas, konstruk perubahannya. Dan akan menanti perubahan-perubahan lainnya.

Masa “lepas” inilah, yang saya pahami sebagai masa didik buat kita-kita. Masa disaat yang “sepuh” mulai melangkah di tempat lain dan untuk prioritas yang lain pula. Masa-masa disaat yang muda (penerus estafetisasi berikutnya) meneruskan sebuah amanah yang kita bilang, “tonggak pergerak mahasiswa”, menjadi fase pembelajaran “berdikari” bagi kita. Mandiri tanpa dampingan para “sesepuh” yang notabenenya, selalu membantu dalam segala hal, pendampingan setiap moment, dukungan “real” menutupi kekurangan kita yang terkadang terlupa dan terlewat, tak sempat terpikirkan oleh kita tapi terjangkau oleh pemikiran para “sesepuh” kita. Huph! Saya menghela napas sebentar dan sudah saatnya menyadari lebih dini, waktunya telah tiba yaz! Presiden baru sudah dilantik dan perubahan besar akan terjadi setelah ini.


12 November 2008

Sister in Solo

Jujur, sungguh terlalu ekstream ketika saya tak melihat lagi sosok-sosok yang biasanya bertengger di Porsima (Sekre BEM). Entah, ini hanya reaksioner atas kondisi yang terjadi minggu ini atau sebuah emosionalitas yang berlebihan, saya tidak tahu. Dan saya hanya mencoba merasakannya untuk sebuah ketulusan yang ingin saya kadokan buat kakak-kakak saya. Pastinya saya akan selalu merindukan IBU-IBU PORSIMA, thx a lot to my inspirators: mba Ririn (selalu ada “ra ceto” untuk setiap diskusi yang sering kita lakukan-di pojokan Porsima-pojokan Mawa-di bawah rindangnya pohon depan Mawa-atau di tempat tercinta mba Ririn, Serengan Study Club. Tak kan ada sosok yang semangatnya over load dalam menyikapi SSC. Beruntungnnya saya bertemu dirimu, kakak. Karena kalau tidak, saya tidak akan bisa bertahan sampai di sini, pada tahap pertahanan saya saat ini), mba Sonia (selalu ada senyum misterius yang membuat saya penasaran, dan logikalitas yang dimiliki mba Sonia, yang saya kagumi), mba Dita (sosok “ibu” banget yang saya temui di Porsima tahun ini dan tak ada yang menandingi kesabaran beliau), mba Putri (diskusi paling berkesan ketika dias hampir saja ditimpakan “bom atom” yang sangat berat dan perlu pertanggungjawaban yang lebih besar dari sebelumnya, “to the point” ! inilah sisi yang saya suka dari mba Putri. Dan “ke-Galak-an” mba Putri yang bakalan jadi trade mark “Berkobar” tahun ini. Dan pastinya buat semua orang yang sering ke Porsima ataupun yang jarang, kadang, atau yang tidak pernah sama sekali. Sekedar ingin mengucapkan terima kasih untuk kebersamaan kita tahun ini.
-pernah saya hapus, dan muncul kembali untuk kakak-kakak saya-

01 November 2008

Bersyukur atas Anugrah Tuhan

Ketika saya melihat kembali, pada album teman-teman dari Rehabilitation Centre-Depsos, maaf jika saya menitikkan bekas pada mata saya yang sembab. Luar biasa mereka! Ada semangat yang tak tertemukan dimanapun yang pernah saya lihat sebelumnya dari mereka. Mereka datang dari seluruh penjuru kota seantero Indonesia. Dari ujung timur sampai ujung barat. Membawa harapan! Harapan yang mereka bawa sampai nantinya mereka diberi kesempatan merasakan kondisi fisik yang lebih baik dan pastinya perbekalan ketrampilan yang sangat membantu penghidupan mereka selanjutnya. Karena mereka tidak akan dimotivasi untuk bergantung pada orang lain, apapun kondisi mereka. Sekali lagi, luar biasa! Mereka tak melihat badan tubuh mana, yang (maaf) teristimewa, tak lengkap (sekali lagi maaf) atau istilah medisnya, deprivasi bagian tubuh tertentu.

Dua hari! Saat itu saya diberi kesempatan mengenal mereka, berbincang, dan bercerita. Berada disekitar mereka adalah anugrah. Mengerti keadaan mereka dari dekat adalah pemaknaan hidup tersendiri bagi s
aya. Karena mereka memberikan pembelajaran luar biasa buat saya! Satu hal yang membekas sampai saat ini, yaitu mereka memiliki sesuatu yang magnetis. Mereka memiliki tarikan energi yang sepertinya menyulap kekaguman saya pada mereka. Energi berdikari! Dalam kondisi apapun! Bahkan dalam keterbatasan! Yang menurut saya, orang lain bisa saja sudah putus asa jika mereka tak bisa berjalan karena kaki mereka..... tak bisa menggunakan kedua tangan lengkap karena tangan mereka....... tak bisa bicara karena mulut mereka... Tapi, semua itu tak mematahkan energi tersebut. Pancaran langka yang saya temukan dari diri mereka. Yaitu.....harapan! Yaaa, harapan mereka adalah...... Bisa berkarya, melejitkan potensi yang mereka miliki. Karena mereka meyakini bahwa di atas keterbatasan, Tuhan menganugrahkan kelebihan lain untuk kita. Dan sisi inilah yang ingin mereka optimalkan. Teruslah hidup dengan energi itu kawand!!
(moment have been created on 14-15th August 2008)